Friday, April 25

Malam yang menjadi Kado

0 comments
Tidak ada perasaan yang lebih menyiksa daripada perasaan bersalah. Bahkan menurut saya, jauh lebih menyiksa perasaan bersalah daripada patah hati. Sungguh.

Saya berusaha memilih. Apakah karena perasaan bersalah ini saya berubah menjadi badmood atau saya harus mengabaikan perasaan bersalah ini dan berusaha untuk melakukan yang memang seharusnya saya tunaikan. Lama saya merenung, saya akhirnya memilih untuk tidak diam dan menyalahkan diri sendiri. Saya tau, sikap itu hanya akan semakin merusak malam yang memiliki potensi menjadi indah, nanti.

Saya pun melakukan tugas yang dimandatkan, menjadi tukang arah arah. Berusaha menyapa relawan lain yang datang setelah saya menjemput mas Apri. Ngobrol sana sini, lalu ketika ada peserta bedah buku, yaa diarahkan menuju tempat yang disediakan. Perlahan, perasaan bersalah itu pun tertebus.

Semakin lama peserta bedah buku semakin banyak dan mbak Rizka pun sudah memulai basa basi didepan untuk mencairkan suasana. Yup, tugas MC untuk membuka segalanya. Saya dan mas Apri bertugas secara bergantian mengarahkan. Kalau cowok, yang handle saya, kalo cewek yang handle dia. Sialan.

Jam menunjukkan pukul 7.13 malam. Panitia seksi keamanan sudah ribut bersiap menyambut kedatangan pak Anies Baswedan. Semua panitia tahu, ini adalah kesempatan emas untuk bertemu dan berjabat tangan dengan beliau. Tidak ingin menyesal, saya pun turun beserta beberapa teman yang lain untuk menyambut Anies Baswedan. Bak penerima tamu dalam mantenan, kami berjejer rapi, dan saya, mendapat tempat paling ujung dekat dengan pintu. Artinya, sayalah yang akan disalami pertama. Untuk anak ndeso seperti saya, menjadi sebuah kehormatan yang besar bukan kepalang.

Saya pun bertemu dan sempat bersalaman dangan mbak super duper keche, Lativina Baswedan, sepupu Anies Baswedan. Sosok yang cantik dan lembut. Saya pernah bertemu dan bekerja sama sebelumnya di event #PolitikRapopo. Beliau bertugas sebagai Master of Ceremonial. Beliau sendiri dari Turuntangan Solo, bisa ikut gabung dalam event ini karena ke-pas-an sedang ada di Jogja.

Menit itu pun tiba. Terlihat jelas pas Anies Baswedan berjalan menuju pintu yang dimaksud, pintu yang mana, saya dan teman teman lain berjejer menyambut. Ini pertama kalinya saya bertemu langsung dengan beliau. Bersosok tinggi besar dengan tinggi kurang lebih sama dengan saya namun terlihat sangat lembut dan berwibawa dalam momen yang sama. Saat itu beliau menggunakan baju batik warna hijau kelam. Lurus, berjalan kearahku.

“ Haloo.. Gimana kabarnya?”

Alhamdulillah sehat pak”

Dijabatnya tangan saya dengan mantab dengan senyum tersimpul dari bibirnya. Genggamannya menunjukkan bahwa beliau memang orang yang selalu yakin dengan apa yang dia kerjakan dan dia percayai.

Beliau pun berlalu menjabat tangan para relawan yang lain satu persatu. Belum sempat saya memfoto beliau, beliau sudah naik dengan anak tangga yang berbeda. Seketika, gemuruh tepuk tangan menyambut kedatangan beliau. Sungguh, betapa dicintainya seseorang ini.

Saya pun bergegas naik kembali. Melewati beberapa orang dianak tangga dan berusaha mencari dan melihat dimana beliau duduk. Hanya ingin memastikan bahwa beliau duduk ditempat yang disediakan. Dan saya pun kembali ke pos saya.

Karena yang datang semakin sedikit, saya pun ikut berjaga di shop yang menjual kaos dan beberapa barang lain. Tak lupa juga, buku biografi yang ditulis oleh mas Muhammad Husnil itu sendiri. Di jam jam awal ini memang belum ada yang laku, tapi liat saja nanti sewaktu menjelang usai, pasti semua berebut untuk membeli dan meminta tanda tangan. Siasat inilah yang juga saya pikirkan.

Menit demi menit pun saya lalui dengan mengobrol dengan sesame relawan dan sesekali menawarkan barang yang dijual disana. Juga menjadi agenda yang wajib, untuk narsis dan selfie bersama soulmate saya di turuntangan Jogja, mbak Putry Demy; yang lebih sering dipanggil mbak Pudem. Gataw gimana bisa, kami ini seperti sudah kenal dalam waktu yang lama, klik.

 Hingga tiba tiba, 2 sahabat saya satu kosan yang juga berasal dari Ponorogo, menepuk pundak saya dari belakang, Manggala dan Kris. Wah kurang ajar benar mereka ini, siang tadi saya ajak bilang tidak bisa karena sibuk ada acara, eh ternyata, datang juga akhirnya mereka berdua. Senang sekali saya, sampai memeluk mereka dan menyuruhnya berfoto dengan buku yang dijual belikan.

Seperti yang mas Haris bilang, pak Anies ini bagus kalau berinteraksi dengan audience. Dan tidak ada yang meragukan hal itu. Mungkin pada saat itu ada orang yang meragukannya, tapi dengan kemampuan yang pak Anies miliki, beliau memberikan bukti. Banyak sekali pertanyaan yang dilancarkan kepada pak Anies. Seingat saya ada 4 kali sesi tanya jawab dengan beliau. Bahkan hingga diakhir acara pun, penonton yang hadir masih ingin terus bertanya atau lebih tepatnya berinteraksi dengan beliau, tidak mau sesi itu berlalu dengan begitu terburu buru. Malam itu, beliau seperti magnet yang mampu menghipnotis dan membuat semua yang hadir menyetujui apa yang menjadi buah pikirnya. Atau setidak tidaknya, para hadirin mengerti akan hal yang berusaha pak Anies jelaskan maksudnya.

Hingga akhirnya, acara pun mendekati penutupan. MC mulai mengambil alih perbincangan. Begitu juga diumumkan bahwa penonton bisa meminta tanda tangan kepada pak Anies dan mas Husnil. Benar saja dugaanku, stan penjual buku pun diserbu. Mbak Pudem dan mas Syarif yang bertugas menjadi penjaga shop inti pun kewalahan. Ditambah lagi, tidak adanya uang kembalian.

Saya pun nggak mau kalah. Saya segera mencomot salah satu buku itu dan membredel plastik pembungkusnya. “Mbak, utang disik dilut. Ngko tak ijoli” (Mbak hutang dulu, nanti aku ganti). Kuambil spidolmarker yang sudah aku persiapkan dalam tas dan berjalan cepat menghampiri sang Calon Presiden dari Konvensi Partai Demokrat itu. Ternyata sudah ada yang lebih dulu yang berebut meminta tanda tangan, mas Rifky salah satunya. Terus saja, saya mendesak untuk mencari posisi yang sekiranya berpotensi terbesar untuk mendapat tanda tangannya. Karena beliau menulis dengan tangan kanan, berarti sebelah kiri beliaulah posisi itu. Dan …..

I got it!

Belum sempat ditulis “ untuk Dimas” memang, tapi ini sudah lebih dari cukup.

Tak lupa, minta tanda tangan dari sang Penulis juga dong. Sebagai seseorang yang mengerti betapa nikmatnya jika karyanya dihargai, saya pun berusaha mengapresiasi. Dan, dapat juga~

Setelah berjingkrak kegirangan karena mendapat tanda tangan itu, saya pun mencari 2 sahabat Ponorogo saya tadi. Entah kemana ternyata mereka sudah hilang dulu. Katanya, mereka berusaha foto dengan pak Anies dengan mengikutinya dari belakang. Eh tapi, keinginan itu malah diganti dengan hasrat untuk foto dengan sepupunya, iya, Lativina Baswedan. Namun sayang seribu sayang, setelah dikejar, ternyata keburu tak terkejar. Lativina Baswedan sudah terlebih dahulu meninggalkan TKP dengan masuk kedalam mobil pak Anies Baswedan. Sayang sekali memang. Saya pun juga nggak bisa foto dengan pak Anies karena 2 alasan. Pertama, karena saya terlalu gembira mendapat tanda tangan beliau sehingga, Kedua, saya kehilangan jejak beliau yang ternyata sudah kembali ke mobil.

Malam itu benar benar seperti kado, kado yang memang saya minta dari Tuhan agar disegerakan kabar baik untuk saya.

Bisa menjabat tangan tokoh seperti beliau dan mendapatkan tanda tangannya, merupakan suatu kebanggaan yang tersendiri dan akan jadi memori pastinya. Ditambah lagi, cuman saya dan mas Rifky yang mendapatkan tanda tangan dari beliau malam itu. Wahh.. Betapa senangnya..

Semua ini, atas ridho dan ijin Allah SWT.

Alhamdulillah.

No Pict= Hoax ?


Duo gemblung yang tiba tiba nongol dan minta foto 

 With the Most SUper Duper Keche, mbak Pudem.

Antusiasme yang super DAHSYAT 

Tanda tangan pak Anies dan mas Husnil

NB: Spesial performance dari mbak Rizka ketika acara udah bener bener bubar


Bersambung

Leave a Reply