Tidak
ada perasaan yang lebih menyiksa daripada perasaan bersalah. Bahkan menurut
saya, jauh lebih menyiksa perasaan bersalah daripada patah hati. Sungguh.
Saya
berusaha memilih. Apakah karena perasaan bersalah ini saya berubah menjadi badmood atau saya harus mengabaikan
perasaan bersalah ini dan berusaha untuk melakukan yang memang seharusnya saya
tunaikan. Lama saya merenung, saya akhirnya memilih untuk tidak diam dan
menyalahkan diri sendiri. Saya tau, sikap itu hanya akan semakin merusak malam
yang memiliki potensi menjadi indah, nanti.
Saya
pun melakukan tugas yang dimandatkan, menjadi tukang arah arah. Berusaha menyapa relawan lain yang datang setelah
saya menjemput mas Apri. Ngobrol sana sini, lalu ketika ada peserta bedah buku,
yaa diarahkan menuju tempat yang disediakan. Perlahan, perasaan bersalah itu
pun tertebus.
Semakin
lama peserta bedah buku semakin banyak dan mbak Rizka pun sudah memulai basa
basi didepan untuk mencairkan suasana. Yup, tugas MC untuk membuka segalanya. Saya
dan mas Apri bertugas secara bergantian mengarahkan. Kalau cowok, yang handle saya, kalo cewek yang handle dia. Sialan.
Jam
menunjukkan pukul 7.13 malam. Panitia seksi keamanan sudah ribut bersiap
menyambut kedatangan pak Anies Baswedan. Semua panitia tahu, ini adalah
kesempatan emas untuk bertemu dan berjabat tangan dengan beliau. Tidak ingin
menyesal, saya pun turun beserta beberapa teman yang lain untuk menyambut Anies
Baswedan. Bak penerima tamu dalam mantenan,
kami berjejer rapi, dan saya, mendapat tempat paling ujung dekat dengan pintu.
Artinya, sayalah yang akan disalami pertama. Untuk anak ndeso seperti saya, menjadi sebuah kehormatan yang besar bukan
kepalang.
Saya
pun bertemu dan sempat bersalaman dangan mbak super duper keche, Lativina
Baswedan, sepupu Anies Baswedan. Sosok yang cantik dan lembut. Saya pernah
bertemu dan bekerja sama sebelumnya di event #PolitikRapopo. Beliau bertugas
sebagai Master of Ceremonial. Beliau sendiri
dari Turuntangan Solo, bisa ikut gabung dalam event ini karena ke-pas-an sedang
ada di Jogja.
Menit
itu pun tiba. Terlihat jelas pas Anies Baswedan berjalan menuju pintu yang
dimaksud, pintu yang mana, saya dan teman teman lain berjejer menyambut. Ini pertama
kalinya saya bertemu langsung dengan beliau. Bersosok tinggi besar dengan
tinggi kurang lebih sama dengan saya namun terlihat sangat lembut dan berwibawa
dalam momen yang sama. Saat itu beliau menggunakan baju batik warna hijau
kelam. Lurus, berjalan kearahku.
“ Haloo.. Gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah sehat pak”
Dijabatnya
tangan saya dengan mantab dengan senyum tersimpul dari bibirnya. Genggamannya
menunjukkan bahwa beliau memang orang yang selalu yakin dengan apa yang dia
kerjakan dan dia percayai.
Beliau
pun berlalu menjabat tangan para relawan yang lain satu persatu. Belum sempat
saya memfoto beliau, beliau sudah naik dengan anak tangga yang berbeda. Seketika,
gemuruh tepuk tangan menyambut kedatangan beliau. Sungguh, betapa dicintainya
seseorang ini.
Saya
pun bergegas naik kembali. Melewati beberapa orang dianak tangga dan berusaha
mencari dan melihat dimana beliau duduk. Hanya ingin memastikan bahwa beliau
duduk ditempat yang disediakan. Dan saya pun kembali ke pos saya.
Karena
yang datang semakin sedikit, saya pun ikut berjaga di shop yang menjual kaos dan beberapa barang lain. Tak lupa juga,
buku biografi yang ditulis oleh mas Muhammad Husnil itu sendiri. Di jam jam
awal ini memang belum ada yang laku, tapi liat saja nanti sewaktu menjelang
usai, pasti semua berebut untuk membeli dan meminta tanda tangan. Siasat inilah
yang juga saya pikirkan.
Menit
demi menit pun saya lalui dengan mengobrol dengan sesame relawan dan sesekali
menawarkan barang yang dijual disana. Juga menjadi agenda yang wajib, untuk
narsis dan selfie bersama soulmate saya di turuntangan Jogja, mbak
Putry Demy; yang lebih sering dipanggil mbak Pudem. Gataw gimana bisa, kami ini
seperti sudah kenal dalam waktu yang lama, klik.
Hingga tiba tiba, 2 sahabat saya satu kosan
yang juga berasal dari Ponorogo, menepuk pundak saya dari belakang, Manggala
dan Kris. Wah kurang ajar benar mereka ini, siang tadi saya ajak bilang tidak
bisa karena sibuk ada acara, eh ternyata, datang juga akhirnya mereka berdua.
Senang sekali saya, sampai memeluk mereka dan menyuruhnya berfoto dengan buku
yang dijual belikan.
Seperti
yang mas Haris bilang, pak Anies ini
bagus kalau berinteraksi dengan audience. Dan tidak ada yang meragukan hal
itu. Mungkin pada saat itu ada orang yang meragukannya, tapi dengan kemampuan
yang pak Anies miliki, beliau memberikan bukti. Banyak sekali pertanyaan yang
dilancarkan kepada pak Anies. Seingat saya ada 4 kali sesi tanya jawab dengan
beliau. Bahkan hingga diakhir acara pun, penonton yang hadir masih ingin terus
bertanya atau lebih tepatnya berinteraksi dengan beliau, tidak mau sesi itu
berlalu dengan begitu terburu buru. Malam itu, beliau seperti magnet yang mampu
menghipnotis dan membuat semua yang hadir menyetujui apa yang menjadi buah
pikirnya. Atau setidak tidaknya, para hadirin mengerti akan hal yang berusaha
pak Anies jelaskan maksudnya.
Hingga
akhirnya, acara pun mendekati penutupan. MC mulai mengambil alih perbincangan.
Begitu juga diumumkan bahwa penonton bisa meminta tanda tangan kepada pak Anies
dan mas Husnil. Benar saja dugaanku, stan penjual buku pun diserbu. Mbak Pudem
dan mas Syarif yang bertugas menjadi penjaga shop inti pun kewalahan. Ditambah lagi, tidak adanya uang
kembalian.
Saya
pun nggak mau kalah. Saya segera mencomot
salah satu buku itu dan membredel plastik pembungkusnya. “Mbak, utang disik dilut. Ngko tak ijoli” (Mbak hutang dulu, nanti
aku ganti). Kuambil spidolmarker yang
sudah aku persiapkan dalam tas dan berjalan cepat menghampiri sang Calon
Presiden dari Konvensi Partai Demokrat itu. Ternyata sudah ada yang lebih dulu
yang berebut meminta tanda tangan, mas Rifky salah satunya. Terus saja, saya
mendesak untuk mencari posisi yang sekiranya berpotensi terbesar untuk mendapat
tanda tangannya. Karena beliau menulis dengan tangan kanan, berarti sebelah
kiri beliaulah posisi itu. Dan …..
I got it!
Belum
sempat ditulis “ untuk Dimas” memang, tapi ini sudah lebih dari cukup.
Tak
lupa, minta tanda tangan dari sang Penulis juga dong. Sebagai seseorang yang
mengerti betapa nikmatnya jika karyanya dihargai, saya pun berusaha
mengapresiasi. Dan, dapat juga~
Setelah
berjingkrak kegirangan karena mendapat tanda tangan itu, saya pun mencari 2
sahabat Ponorogo saya tadi. Entah kemana ternyata mereka sudah hilang dulu.
Katanya, mereka berusaha foto dengan pak Anies dengan mengikutinya dari
belakang. Eh tapi, keinginan itu malah diganti dengan hasrat untuk foto dengan
sepupunya, iya, Lativina Baswedan. Namun sayang seribu sayang, setelah dikejar,
ternyata keburu tak terkejar. Lativina Baswedan sudah terlebih dahulu
meninggalkan TKP dengan masuk kedalam mobil pak Anies Baswedan. Sayang sekali
memang. Saya pun juga nggak bisa foto dengan pak Anies karena 2 alasan. Pertama,
karena saya terlalu gembira mendapat tanda tangan beliau sehingga, Kedua, saya
kehilangan jejak beliau yang ternyata sudah kembali ke mobil.
Malam
itu benar benar seperti kado, kado yang memang saya minta dari Tuhan agar disegerakan
kabar baik untuk saya.
Bisa
menjabat tangan tokoh seperti beliau dan mendapatkan tanda tangannya, merupakan
suatu kebanggaan yang tersendiri dan akan jadi memori pastinya. Ditambah lagi,
cuman saya dan mas Rifky yang mendapatkan tanda tangan dari beliau malam itu.
Wahh.. Betapa senangnya..
Semua
ini, atas ridho dan ijin Allah SWT.
Alhamdulillah.
No Pict= Hoax ?
No Pict= Hoax ?
Duo gemblung yang tiba tiba nongol dan minta foto
With the Most SUper Duper Keche, mbak Pudem.
Antusiasme yang super DAHSYAT
Tanda tangan pak Anies dan mas Husnil
NB: Spesial performance dari mbak Rizka ketika acara udah bener bener bubar
Bersambung





