Yaa.. hari ini memang kami menelan kekalahan apalagi kalah dari adik kelas. Malu? Nggak lahhh. Memang berat menerima kekalahan apalagi kekalahan oleh orang yang lebih ibaratnya junior dari kita. Tapi, mengingat karena gue udah kelas 3, udah waktunya regenerasi dan seharusnya memang “mereka” lah yang akan memberi prestasi ke sekolah. Semoga.
Kecewa akan kekalahan bukanlah alasan bagi tim kami untuk mengendorkan semangat untuk berjuang lebih. Justru inilah seharusnyatitik balik dimana gue ama Laksa dan Satria berjuang 100xliat lebih keras dari sebelumnya untuk membawa piala juara 3. Tim adik kelasku yang masuk final esok harus melawan tim dari SMAZA juga, yaitu tim Astana cz. Haha.. Ternyata predikat untuk selalu menang dari diri seorang Astana, Esti, dan Alby memang tidak bisa lepas. Ini berarti, juga tim gue berhasil merebut Juara 3, maka tim dari SMA 1 Ponorogo akan membawa pulang seluruh juara. Dari juara 1 sampai juara 3. What a moment! Dan kesempatan untuk membawa pulang triple juara semakin memacu kami untuk berusaha lebih keras. HARUS!
Sebelum pulang, panitia memberikan selebaran yang berisi mosi yang akan kami perdebatkan besok. Langsung saja kami sepulang lomba untuk kesekolah sejenak. Sebenarnya, saat kami lomba ini bersamaan dengan hari dimana diagendakan seluruh panitia YESC berkumpul dan mempersiapkan segala keperluan untuk English Camp yang akan diselenggarakan tanggal 30 Juni 2012 esok. Namun ternyata ketika kami kesekolah, sudah sepi. Ternyata semua perlengkapan sudah tersedia didalam sekretariat YESC. Namun memang masih ada beberapa yang harus diselesaikan memang tapi itu bisa kami tuntaskan saat besok kompetisi ini berakhir. Karena sudah sepi disekolah, kami putuskan untuk pulang saja. Repetisi dan malam nanti kami akan latihan lagi.
Malam pun tiba, udara dingin berhembus menusuk serat jaket, terus hingga menyentuh kulit, memaksa tubuh untuk merinding. Hari ini latihan ditempatkan dirumah si Laksa, soalnya mumpung rumahnya lagi kosong karena orang tuanya sedang pergi ke Solo. Satu persatu, anggota demi anggota berkumpul. Hanya gue, Satria, Astana, dan Alby yang bisa hadir dalam simulasi pertempuran esok. Esti tidak bisa hadir karena ada tugas untuk lomba lain yang akan dia hadapin 2 hari kemudian. Yaa memang begitulah si Esti, berbeda sekali dengan kelas X dahulu. Sekarang dia seperti addict dengan lomba lomba. Mungkin itu karna motivasi dari kekasihnya yang bisa disebut Orang Hebat. Pria Hebat yang berasal dari suatu desa di Ponorogo ini adalah Sesepuh yang paling Sepuh di Organisasi YESC gue. Karena perjuangan dari beliau juga lah, serta kecintaannya pada Organisasi Bahasa Inggris ini yang akhirnya bisa menjadi suatu ekstrakulikuler di SMA 1 Ponorogo. Sudah keliling dunia pula, dan sekarang kuliah di IPB serta alhamdulillah masih sering bisa pulang ke Ponorogo untuk menjenguk ekstra-nya dahulu. Kami bangga memilikimu kak J.
Tidak beda jauh dengan malam latihan sebelumnya, latihan diisi dengan berbagai argumen yang keluar masuk. Bertukar pikiran bagaimana mendapatkan argumen terbaik yang akan memastikan keunggulan kami beradu argumen dan mem-persuade Juri agar memenangkan tim kami. Harapan itu tak pernah hilang. Karena tingkat kesulitan lawan yang pastinya lebih sulit dari hari kemarin. Pasti. Oleh karena alasan itulah, kami harus pulang jam 1 dini hari karena bahasan kami yang pastinya harus lebih kuat. Bukan hanya 1 langkah, namun 10 langkah didepan lawan. Capek? Sudah pasti, namun itu tidak akan pernah menjadi alasan kami untuk menyerah. Namun karena istirahat juga penting, latihan diakhiri sampai disini saja. Waktunya untuk pulang dan menikmati tubuh ini beregenerasi selnya.
The Judgmentday is coming. Hari penentuan pun akhirnya tiba juga. Hari pengukuhan dimana siapa yang lebih hebat akan mendapatkan tahta tertinggi yaitu kemenangan. Semalam tim kami dengan tim Astana.cz memang kawan berlatih, but this day we are rival. Walaupun kami secara teknis tidak bertanding dalam 1 sesi, namun kami bertanding untuk menjadi pemenang pada masing masing pertandingan kami.
Pertandingan pertama adalah perebutan juara 3 terlebih dahulu. Tim kami, Laksa,Satria,Dimas (gue sendiri) memasuki panggung perdebatan. Beda dengan debat hari kemarin, debat hari ini bertempat di Hall dan bukan diruang kelas seperti hari sebelumnya. Dan ini menjadi tekanan tersendiri bagi gue. Memegang polpen pun gue gak bisa. Seperti nyawa ini tinggal separuh saja. Mentalku seperti tak mampu menanggung determinasi tekanan. Bukan hanya untuk menjadi juara 3 karena musuh yang tidak bisa dianggap enteng, namun para penonton. Bapak bapak ibu ibu semua yang ada disini. Digoyang semuaa. Dan barusan adalah lirik lagu Dangdut. Abaikan.
Dan seperti hari biasanya, sahabat gue Satria dan Laksa tak pernah berhenti mensupport. Bahkan Winda pun juga kut memberi support lewat sms. Dan sosok sang Nyata itu muncul kembali. Gue bayangin dia sedang disamping gue, menatap penuh yakin bahwa gue bisa untuk pertandingan final ini. Namun itu belum cukup. Tidak cukup. Dan benar saja, sungguh performa ini turun dan berbalik 180 derajat. I’am not lika i was. Gue bukan diri gue yang dulu. Yang kemarin. Yang dengan lantang berteriak, dan mantap menatap.
Ohh.. geez! What happen?!!
Gue bertanya kenapa gue bisa sampai seperti ini. Dan jawabannya jelas, gue gugup. Gue gak bisa mengontrol tingkat ketegangan gue. Point penting yang seharusnya gue bawa, gue utarakan didepan juri, belum bisa mengkristal menjadi argumen kuat yang mampu membuat timku unggul jauh. Beruntunglah. Masih ada Laksa. Beliaulah yang membawa hal penting yang belum tersampaikan oleh gue. Yang bisa gue lakukan setelah itu adalah hanya diam. Diam. Dan diam saja. Namun dalam diamku, gue berdoa. Semoga kesempatan mempersembahkan piala untuk sang Nyata mampu gue capai. Amin.
Tentu saja setelah turun panggung gue minta maaf atas performa buruk ke Laksa dan juga Satria. Ke Satria karna gue gak mampu mendukung argumen kuat yang dia bawa. Dan Laksa yang harus berpikir keras kedua kali untuk menutup lubang dalam yang gue buat. Gue minta maaf atas performa buruk yang justru gue persembahkan disaat yang sebenarnya palng genting, paling penting, dan paling krusial. Saat dimana tidak ada lagi kesempatan kedua, bila kekalahan menampar muka. Saat untuk merebut juara ke 3.
Dan seperti biasa pula. Satria dan Laksa kembali mensupport gue. Menjelaskan bahwa itu gakpapa. Dan itu adalah hal yang wajar dalam sebuah kompetisi. Maka dari itulah tim itu ada. Dimana saling mensupport saat satu anggotanya terjatuh. Membantu yang lain saat yang lain tertatih. Its called team. Ya walaupun begitu, rasa bersalah ini pasti masih mengganjal. Pasti.
Hingga saat itu tiba. Pengumuman siapa yang menang siapa yang jadi pecundang. Doa ini terus gue panjatkan pada yang Maha Agung, yang Maha Berkehendak, dan yang Maha Kuasa atas segala kekuasaan. Gue berdoa berdoa dan berdoa. Hingga saat sang pembawa acara mengumukan bahwa...
Laksa, Satria, dan Dimas, tim SMA 1 Ponorogo 2, pemenang Juara 3!!
Senang dan keinginan untuk gue menetesakan air mata bercampur jadi 1. Namun air mata itu tertunda keluar karena gue harus segera maju kedepan bersama satu timku untuk menerima sang piala. Sang penanda bahwa kami bukanlah pecundang, KAMILAH SANG PEMENANG!! Memang benar hanya juara 3, tapi ini adalah pencapaian tertinggi dalam sejarah karir gue di kelas XI ini. Bukan hanya tim gue yang juara, tim Astana, SMA 1 Ponorogo 1 berhasil menjadi Juara 1. Tahta tertinggi. Sang juara utama. Dan adik kelas gue juara ke 2. Sungguh hari yang gak pernah gue percaya bakal terjadi. Dimana gue akhirnya mampu memberikan prestasi ke sekolah. Dan bukan hanya sebagai “tangan pengganti”, namun juga penyebab atas diberikannya juara itu ke gue, ke Tim gue, SMA 1 Ponorogo 2.
Dan piala ini, untuk seseorang yang selalu nyata dalam benak gue, sang Nyata. Trima kasih J
Tuhan, terima kasih juga ya.. J dan juga untuk semua orang yang percaya pada gue. Nggak ada yang mampu gue ucapkan selain, Trima Kasih.
