Hari ini dimulai dengan cukup banyak perenungan yang
sebenarnya tidak teramat penting. Dalam beberapa malam ini, hampir secara
berurutan, aku memimpikan orang dimasa lalu yang sebenarnya tidak ada alasan
yang menjadikan aku memimpikannya. Tetapi justru karena mimpi yang terlampau
sering itu, ada muncul perasaan yang lama sudah aku putuskan untuk tinggalkan.
Itu yang pertama
Dan yang kedua, adalah “memperingati” berubah namanya
blog ini menjadi madsisme.blogspot.com dari blog-ku-dimazmahardika.blogspot.com
Yeeaayyy~ (clap clap)
Sehingga, untuk kalian yang me- bookmark daripada laman blog yang cukup aneh ini, bisa sesegera
mungkin memperbaharuinya. Hehe
***
Kita mundur 2 minggu kebelakang.
Sekitar pertengahan minggu kedua April, aku memutuskan
untuk mengikuti proses pemberkasan lomba Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi
yang diselenggarakan di Universitas Hasanudin, Makassar. Tahapan seleksi yang
diambil pun bukanlah lewat prosedur seleksi essay pada umumnya tetapi lebih
kepada wawancara saja.
Alhamdulillah, lolos.
Sebenarnya keikutsertaanku ini sedikit terlambat
dengan kawan kawan lain yang sudah terpilih dalam tim pemberkasan Sidang Semu
ini. Karena ada kompetisi lain yang disana aku dijadikan official dan aku pikir tim Sidang Semu sudah terpenuhi kuotanya. Ternyata,
tidak. Ada 2 slot kursi kosong yang masih mungkin untuk diperebutkan, sehingga
kemoloran masuknya aku dalam tim memang beralasan, yang salah satunya adalah
kurangnya manusia untuk memberkas waktu itu. Masalah klasik sih kalo di kampus
kami.
Dan ketika aku masuk dalam tim, waktu deadline untuk pengumpulan berkas hanya
tersisa 10 atau 13 hari lagi.
Sungguh mepet.
Dari pembicaraan awal kawan kawan tim berkas Sidang
Semu Mahkamah Konstitusi ini (selanjutnya akan disebut SSMK) ternyata sudah
mengalami dua kali perubahan terhadap undang undang mana yang harus di judicial review atau biasa disebut JR.
Hingga akhirnya, pilihan pun berlabuh pada di JR-nya UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional dan UU BPJS.
Proses pengerjaannya pun ternyata lumayan
membingungkan, karena tidak ada yang benar benar paham betul mengenai mekanisme
beracara di Mahkamah Konsitusi terkait proses pengujian undang undang terhadap
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Hal ini disebabkan mata
kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ini menjadi mata kuliah pilihan dan
bukan mata kuliah wajib. Alhasil, yang mengerti secara pasti beracara di MK
hampir nol, walaupun ada aku, Amel, dan Rosyid (Ketua Tim) yang sedikit banyak
sudah mengerti cara beracara di Pengadilan umum. Karena kawan kawan yang lain
adalah angkatan 2014 dan 2015 yang baru mengambil mata kuliah hukum acara,
sedikit susah bagi kami untuk menjelaskan secara sederhana bagaimana beracara
di pengadilan.
Syukurnya, setelah mengikuti Kartikum – semacam pelatihan
tentang tata cara beracara dan hal ihwal yang berkaitan dengannya -- aku jauh
lebih memiliki gambaran terkait mekanisme beracara/bersidang, tetapi itu belum
cukup, karena harus ada buku yang kita “habiskan” dalam waktu kurang dari sehari
untuk memahami beracara di MK.
Modyar po
ra we
Tapi,
Itulah yang paling seru ketika mengikuti lomba :D
I love
being under pressure, now.
Ketika hal itu terjadi, aku selalu mengandaikan diriku
sebagai Sherlock versi BBC yang begitu “bahagia” ketika sedang dalam masalah
atau terjebak dalam teka teki yang sangat sulit dipecahkan, atau juga ketika
bersaing melawan Moriarty.
Atau seperti Mycroft, yang memilih “bertaruh” dengan
nyawa sebagai taruhan karena dipikirnya menarik.
Dan sedikit banyak, aku mulai belajar untuk memiliki
ketertarikan yang sama dan telah membuktikan sendiri apa yang mereka maksudkan.
Memang, lolos dari situasi under pressure memang hal yang sangat
melegakan dan memuaskan.
Karena, ada memang hal yang sangat aku khawatirkan
berkenaan dengan segala proses yang terjadi ketika pemberkasan yang cukup
membuatku tertekan dan ingin sesegera menyudahinya dengan “seadanya saja”.
Tetapi syukurnya, hal itu bisa dilalui dengan baik, dengan maksimal, dan Inshaa
Allah jauh dari “seadanya saja”.
Alhasil, berkas dapat dikirim 5 hari yang lalu dan
baru sampai hari kemarin lusa sesuai deadline.
Hari hari yang penuh itu pun akhirnya berakhir.
Dan dari sinilah semuanya bermula ...
Aku pun mulai memimpikan sang “alumni”. Padahal tidak
ada aktifitas kepo anything what so ever
yang seharusnya mampu menyulut mimpi tersebut. Gak ada telepon, gak ada SMS, gak
ada WA, LINE, apapun. Yaa karena si alumni emang lagi exchange ke Korea, pastinya dia disibukkan dengan aktifitasnya yang
mungkin cukup padat dan mungkin dingin.
Sekitar tiga malam berurut urut, tapi dengan cerita
yang berbeda beda.
Intinya, ketemu gitu..
Dan setelah bangun pun, aku masih ingat sedikit pada
bagian mana dan apa kita ketemu. Tapi kalo sekarang ya udah lupa sih..
Hingga akhirnya karena merasa “gimaanaa gitu”, iseng
iseng aku nyari artikel di internet.
It says
that,
It’s rather
you miss her or she is missing you.
Hmmm ...
Disaat itulah aku pun mengakui,
Bahwa satu alasan besarku mengapa begitu berniat dan
bersungguh sungguh untuk bisa tembus lolos lomba adalah karena aku ingin
membuktikan bahwa ...
Aku bisa dan pantas untuk diakui.
Sewaktu masih dekat dulu, aku memang merasa ada “persaingan
dingin” diantara kita.
Dia menonjol lewat prestasi akademik, aku berusaha
menonjol lewat kemampuan organisasi.
Hingga ketika kuliah, sewaktu awal awal semester kami
masih sering berkomunikasi, aku ingat sekali ketika aku kaget di secara sadar
dan sukarela meniatkan diri untuk ikut dan aktif dalam organisasi.
Dan aku pun berubah, yang awalnya aktif organisasi,
merubah fokus kepada pertumbuhan prestasi akademik yang baik dan mengikuti
lomba lomba.
Dan, ternyata,
Susah sekali -__-
Ikut lomba constitutional
drafting, sayang berkas gak lolos.
Ikut lomba debat, eh, gak lolos penyisihan.
Dan sekarang adalah kesempatan kesekianku untuk
membuktikan, setidaknya kepada diriku sendiri bahwa, aku pun bisa.
Kalian pun bisa.
Bisa untuk memutuskan bersungguh sungguh tentang hal
yang sebenarnya ingin diraih.
Entah, apapun hubungan diantara aku dan dia,
Sekarang aku memandangnya sebagai orang yang membuatku
sadar bahwa aku bisa lebih baik dari ini, lebih baik dari sekarang, lebih
berhak atas keinginan yang lebih besar.
Dan dari kesadaran itu, lahir pula-lah “harga diri”
untuk membuktikan.
Memang aku sudah tertinggal start yang cukup jauh,
tetapi aku tidak pernah menjadikan penyesalan yang
mengkerdilkan sebagai pilihan.
Dan aku meyakini, aku sedang ada di jalan yang tepat,
untuk segala kebaikan hidup yang bisa terjadi kedepan.
Memang, tidak semua orang memiliki cara yang sama
untuk mendukung atau membesarkan hati orang lain agar lebih percaya terhadap
apa yang ingin dia raih.
Bahkan bisa jadi, tidak ada sedikitpun keinginan dari
dia untuk menyemangati atau mendorong atau mendukungku terhadap hal apa yang
sedang berusaha aku upayakan.
Tetapi, lebih kepada bagaimana aku menyikapi segala
kekurangan dan gap antara aku dan
dia.
Apakah hanya akan mengutuk diriku yang terlambat?
Atau berusaha saja memulai yang bisa dimulai?
Apa kamu
kangen dim?
Kangen? Mungkin
Tetapi ini bukan kangen atau rindu menye menye yang menyita waktu untuk
selalu berdua atau memaksakan diri terlihat berbahagia lewat media sosial setiap
saat.
Mungkin,
Ini yang dimaksud ...
rindu yang
menguatkan.