Friday, November 25

Tutup Teori

0 comments
Blog ini beberapa kali dalam sejarahnya berbagi, mengganti nama sebanyak 2 kali. 
Dari judul yang panjaanngg... Hingga berganti menjadi #MADSISME

Tetapi, entah, gairah menulis di blog ini perlahan semakin memudar. Keinginan untuk berbagi lewat jendela #MADSISME ini terasa begitu 'kering'.
Mungkin,
#MADSISME lahir terlalu dini. Belum siap dengan pertanyaan pertanyaan mendasar, sehingga, jadi bingung sendiri mau diarahkan kemana tulisan tulisannya.

Oleh karena itulah, saya rasa, sudah saatnya saya 'tutup teori' lewat jendela ini.

Saya tidak berhenti. Saya hanya mengambil jarak, dan ternyata keputusan ini saya ambil. 

Tetapi, saya masih akan tetap menulis. Dalam gaya yang lebih ingin saya eksplorasi lagi dari diri saya.

Untuk lamannya, nanti kalo sudah jadi, saya tautkan disini ya..

Terima kasih telah setia dengan menyempatkan waktunya untuk membaca sekelumit kisah sederhana yang tidak terlalu penting ini..

Well,
Sampai jumpa dijendela yang lain~

Continue reading →
Thursday, April 21

Naik Pesawat (?)

0 comments
Tepat semalam, tulisan tentang kangen yang menguatkan itu di-publish, dalam waktu yang sangat segera, aku dan teman teman tim Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi pun mendengar kabar yang membahagiakan.

Kami pun lolos ke tahap final dan sah pergi ke Makasar.

Sah naik pesawat.

Itu yang paling aku nanti dan impikan,

Naik pesawat!!

Tetapi, bincang sekedar bincang, katanya dana akan susah turun karena anggaran yang sangat besar jika memberangkatkan 20 orang yang terdiri dari 17 anggota tim ditambah 3 orang dosen dan pembimbing.
Isunya, bakal naik bis ber-ac.


Jikalalu pun memang benar demikian, jelas ada sedikit kekecewaan bagiku.

Karena yang sejati dan paling sejati yang aku incar adalah kesempatan untuk naik pesawatnya, bukan menang lombanya.

Yaa ... tapi aku sendiri memahami, bahwa uang sebanyak itu untuk biaya lomba memang emm.. bisa dibilang angka yang “mengejutkan” sih..


Gak papa deh

Yang penting sah ke Makasar

Mungkin memang belum takdirnya untuk segera naik pesawat

Rencana Tuhan pasti lebih wookkeehh.


Amiinn






:)
Continue reading →
Wednesday, April 20

Kangen? Mungkin

0 comments
Hari ini dimulai dengan cukup banyak perenungan yang sebenarnya tidak teramat penting. Dalam beberapa malam ini, hampir secara berurutan, aku memimpikan orang dimasa lalu yang sebenarnya tidak ada alasan yang menjadikan aku memimpikannya. Tetapi justru karena mimpi yang terlampau sering itu, ada muncul perasaan yang lama sudah aku putuskan untuk tinggalkan.

Itu yang pertama

Dan yang kedua, adalah “memperingati” berubah namanya blog ini menjadi madsisme.blogspot.com dari blog-ku-dimazmahardika.blogspot.com

Yeeaayyy~ (clap clap)

Sehingga, untuk kalian yang me- bookmark daripada laman blog yang cukup aneh ini, bisa sesegera mungkin memperbaharuinya. Hehe


***


Kita mundur 2 minggu kebelakang.

Sekitar pertengahan minggu kedua April, aku memutuskan untuk mengikuti proses pemberkasan lomba Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan di Universitas Hasanudin, Makassar. Tahapan seleksi yang diambil pun bukanlah lewat prosedur seleksi essay pada umumnya tetapi lebih kepada wawancara saja.

Alhamdulillah, lolos.

Sebenarnya keikutsertaanku ini sedikit terlambat dengan kawan kawan lain yang sudah terpilih dalam tim pemberkasan Sidang Semu ini. Karena ada kompetisi lain yang disana aku dijadikan official dan aku pikir tim Sidang Semu sudah terpenuhi kuotanya. Ternyata, tidak. Ada 2 slot kursi kosong yang masih mungkin untuk diperebutkan, sehingga kemoloran masuknya aku dalam tim memang beralasan, yang salah satunya adalah kurangnya manusia untuk memberkas waktu itu. Masalah klasik sih kalo di kampus kami.

Dan ketika aku masuk dalam tim, waktu deadline untuk pengumpulan berkas hanya tersisa 10 atau 13 hari lagi.

Sungguh mepet.

Dari pembicaraan awal kawan kawan tim berkas Sidang Semu Mahkamah Konstitusi ini (selanjutnya akan disebut SSMK) ternyata sudah mengalami dua kali perubahan terhadap undang undang mana yang harus di judicial review atau biasa disebut JR. Hingga akhirnya, pilihan pun berlabuh pada di JR-nya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU BPJS.

Proses pengerjaannya pun ternyata lumayan membingungkan, karena tidak ada yang benar benar paham betul mengenai mekanisme beracara di Mahkamah Konsitusi terkait proses pengujian undang undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Hal ini disebabkan mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ini menjadi mata kuliah pilihan dan bukan mata kuliah wajib. Alhasil, yang mengerti secara pasti beracara di MK hampir nol, walaupun ada aku, Amel, dan Rosyid (Ketua Tim) yang sedikit banyak sudah mengerti cara beracara di Pengadilan umum. Karena kawan kawan yang lain adalah angkatan 2014 dan 2015 yang baru mengambil mata kuliah hukum acara, sedikit susah bagi kami untuk menjelaskan secara sederhana bagaimana beracara di pengadilan. 

Syukurnya, setelah mengikuti Kartikum – semacam pelatihan tentang tata cara beracara dan hal ihwal yang berkaitan dengannya -- aku jauh lebih memiliki gambaran terkait mekanisme beracara/bersidang, tetapi itu belum cukup, karena harus ada buku yang kita “habiskan” dalam waktu kurang dari sehari untuk memahami beracara di MK.

Modyar po ra we

Tapi,

Itulah yang paling seru ketika mengikuti lomba :D

I love being under pressure, now.

Ketika hal itu terjadi, aku selalu mengandaikan diriku sebagai Sherlock versi BBC yang begitu “bahagia” ketika sedang dalam masalah atau terjebak dalam teka teki yang sangat sulit dipecahkan, atau juga ketika bersaing melawan Moriarty.

Atau seperti Mycroft, yang memilih “bertaruh” dengan nyawa sebagai taruhan karena dipikirnya menarik.

Dan sedikit banyak, aku mulai belajar untuk memiliki ketertarikan yang sama dan telah membuktikan sendiri apa yang mereka maksudkan. 

Memang, lolos dari situasi under pressure memang hal yang sangat 
melegakan dan memuaskan.

Karena, ada memang hal yang sangat aku khawatirkan berkenaan dengan segala proses yang terjadi ketika pemberkasan yang cukup membuatku tertekan dan ingin sesegera menyudahinya dengan “seadanya saja”. Tetapi syukurnya, hal itu bisa dilalui dengan baik, dengan maksimal, dan Inshaa Allah jauh dari “seadanya saja”.

Alhasil, berkas dapat dikirim 5 hari yang lalu dan baru sampai hari kemarin lusa sesuai deadline.


Hari hari yang penuh itu pun akhirnya berakhir.
Dan dari sinilah semuanya bermula ...


Aku pun mulai memimpikan sang “alumni”. Padahal tidak ada aktifitas kepo anything what so ever yang seharusnya mampu menyulut mimpi tersebut. Gak ada telepon, gak ada SMS, gak ada WA, LINE, apapun. Yaa karena si alumni emang lagi exchange ke Korea, pastinya dia disibukkan dengan aktifitasnya yang mungkin cukup padat dan mungkin dingin.

Sekitar tiga malam berurut urut, tapi dengan cerita yang berbeda beda.

Intinya, ketemu gitu..

Dan setelah bangun pun, aku masih ingat sedikit pada bagian mana dan apa kita ketemu. Tapi kalo sekarang ya udah lupa sih..
Hingga akhirnya karena merasa “gimaanaa gitu”, iseng iseng aku nyari artikel di internet.

It says that,

It’s rather you miss her or she is missing you.

Hmmm ...

Disaat itulah aku pun mengakui,

Bahwa satu alasan besarku mengapa begitu berniat dan bersungguh sungguh untuk bisa tembus lolos lomba adalah karena aku ingin membuktikan bahwa ...

Aku bisa dan pantas untuk diakui.

Sewaktu masih dekat dulu, aku memang merasa ada “persaingan dingin” diantara kita.

Dia menonjol lewat prestasi akademik, aku berusaha menonjol lewat kemampuan organisasi.

Hingga ketika kuliah, sewaktu awal awal semester kami masih sering berkomunikasi, aku ingat sekali ketika aku kaget di secara sadar dan sukarela meniatkan diri untuk ikut dan aktif dalam organisasi.

Dan aku pun berubah, yang awalnya aktif organisasi, merubah fokus kepada pertumbuhan prestasi akademik yang baik dan mengikuti lomba lomba.

Dan, ternyata,

Susah sekali -__-

Ikut lomba constitutional drafting, sayang berkas gak lolos.

Ikut lomba debat, eh, gak lolos penyisihan.

Dan sekarang adalah kesempatan kesekianku untuk membuktikan, setidaknya kepada diriku sendiri bahwa, aku pun bisa.

Kalian pun bisa.

Bisa untuk memutuskan bersungguh sungguh tentang hal yang sebenarnya ingin diraih.


Entah, apapun hubungan diantara aku dan dia,
Sekarang aku memandangnya sebagai orang yang membuatku sadar bahwa aku bisa lebih baik dari ini, lebih baik dari sekarang, lebih berhak atas keinginan yang lebih besar.

Dan dari kesadaran itu, lahir pula-lah “harga diri” untuk membuktikan.


Memang aku sudah tertinggal start yang cukup jauh,
tetapi aku tidak pernah menjadikan penyesalan yang mengkerdilkan sebagai pilihan.

Dan aku meyakini, aku sedang ada di jalan yang tepat, untuk segala kebaikan hidup yang bisa terjadi kedepan.

Memang, tidak semua orang memiliki cara yang sama untuk mendukung atau membesarkan hati orang lain agar lebih percaya terhadap apa yang ingin dia raih.

Bahkan bisa jadi, tidak ada sedikitpun keinginan dari dia untuk menyemangati atau mendorong atau mendukungku terhadap hal apa yang sedang berusaha aku upayakan.

Tetapi, lebih kepada bagaimana aku menyikapi segala kekurangan dan gap antara aku dan dia.

Apakah hanya akan mengutuk diriku yang terlambat?

Atau berusaha saja memulai yang bisa dimulai?


Apa kamu kangen dim?

Kangen? Mungkin

Tetapi ini bukan kangen atau rindu menye menye yang menyita waktu untuk selalu berdua atau memaksakan diri terlihat berbahagia lewat media sosial setiap saat.



Mungkin,

Ini yang dimaksud ...

rindu yang menguatkan.
Continue reading →
Tuesday, March 29

Kehidupan yang Penuh

0 comments
Mar,

Maaf yaa atas absenku yang cukup lama dari dunia tulisan selama beberapa bulan ini.
Aku sungguh sedang menikmati hidupku yang sedang penuh penuhnya, jauh berbeda dengan kehidupan beberapa tahun lalu.

Aku sekarang ikut dalam organisasi terbaik (menurutku) di Fakultasku:
Forum Kajian dan Penulisan Hukum
Aku didapuk untuk menjadi Staff di Dept. Kompetisi yang menangani segala hal ihwal yang berkaitan dengan seleksi lomba.

Beberapa minggu yang lalu,
Aku akhirnya tampil untuk kedua kalinya di panggung terbesar dan termegah di Yogyakarta, Taman Budaya Yogyakarta. Bersama Manggolo Mudho pastinya, dalam acara AIESEC dengan peserta dari Vietnam, Steven namanya.

Dan sekitar minggu kemarin, aku sibuk dan hectic-nya menjadi panitia dalam lomba  UII Law Fair Piala Muhammad Natsir. Devisi Perlengkapan lah yang menjadi kamar tugasku. Sibuk kesana kemari untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk hari H.

Sibuk tapi sangat menyenangkan.

Sudah lama sekali Mar, aku tiada pernah merasakan atmosfer yang “cepat” seperti kemarin.

Dan hingga akhirnya di minggu ini, aku mengikuti KARTIKUM atau Pelatihan Karya Latihan Hukum. Yaitu pelatihan untuk mahasiswa aktif yang ingin berkecimpung di dunia ke- Advokat-an yang beracara di muka persidangan.
Dan besok, kami se-angkatan baru memasuki hari ketiga dalam seminggu jadwal yang ditentukan panitia.

Uwoohhh..

Seru sekali, Mar!

Aku bahkan tiada sempat waktu untuk bergalau ria.
Memang, obat terbaik untuk segera melepaskan diri dari rasa gelisah akan galau adalah hidup dalam kehidupan yang penuh.

Belum lagi,
Semalam aku bermimpi bertemu Dinda.
Aduhh.. Sungguh baik nasib, Abang

Eh, 
Sekian dulu ya Mar, laporan atas hidupku akhir akhir ini.

Untuk puisi dan kesenduan yang kamu nantikan untuk ku bagi , mohon sabar ya..
Aku terlalu bahagia untuk sempat bersedih, Mar

Dan mungkin,
Kamu pun harus menyegerakan kehidupan penuhmu pula...

Selamat mencari~
Continue reading →
Friday, January 22

Pemandangan ¾ Purnama

0 comments
Mar,
Kira kira, ingat tidak ya dirimu dengan hari ini?

Bukan bukan...
Bukan hari pernikahan Armand Maulana dengan istrinya yang pesinden OVJ
Bukann..

Hari ini adalah tanggal 22 Januari,
Malam ¾ Purnama, pemandangan ketiga yang paling menarik kekagumanmu setelah terbenamnya matahari dan matahari terbit.

Gimana? Pemandangan ¾ Purnama ditempatmu tidak begitu jelas katamu?
Kamu sih ... Terlampau buru buru pulang ke Tulungagung. Kangen Jathilan yang banyak makan belingnya.

Aduh duh ...
Mar,

Mbok ya rodo piye ngunu lho...

Kamu ini ayu, tapi kok selera senimu ternyata seperti itu, nonton yang bikin ngilu ngilu
Hingga sejenak aku ingat janjian kita di Alon Alon Ponorogo. Aku ingat jelas, coklat Cadbury, senyummu yang sedikit malu malu hingga ...

I Love you ... “

Beh! Beh!
Itu pertaama kali kiranya kamu bilang cinta yang bukan lewat jendela media!
Aku senang bukan kepalang, tapi aku jaga. Agar ketenanganku didepanmu tiada hilang, Mar

Kamu sih ...
Harusny tinggal di Jogja sedikit lebih lama. Temani aku latihan Reog untuk tampil di Cilacap buat kawinan besok.
Tapi, bukan itu yang sejatinya penting

Kamu sih ... Pulang duluan ...
Kalau tidak,
Mungkin aku bisa berbagi pemandangan ini


Pemandangan ¾ Purnama ...
ala Jogja
Continue reading →
Sunday, December 20

Aku pun Ingin Memboncengmu, Mar

1 comments

Siapa sangka, malam menjelang akhir tahun akan segetir ini.
Dan dalam kegetiran itu
Tersimpan,
kemerduan.
***

Lelah,
Badan ini seakan berontak tak mampu lagi memenuhi tuntutan
Berkesenian dua kali dalam 1440 menit
Lelah memang
Tetapi, apakah ada lelah yang tak meluntur merasakan malam 20 Desember ini?
Malam yang mungkin hanya datang sebulan sekali,
itu pun jika Dia mengijinkan.

Pukul 11 malam, ku susuri Jalan Maguwoharjo, meninggalkanmu dibelakang dalam kerumunan
Berusaha mengejar rombongan, namun tak sampai
Hingga akhirnya kalian mendahuluiku.
Duh, Mar.
Bilang pada sopirmu itu untuk lebih pelan,
nyawamu tiada sebanding dengan segala keterburuan untuk segera ke peraduan.
Aku tiada bisa selain dibelakangmu
Menjaga

Mar,
Malam begitu dingin sewaktu kita menyusuri Jalan Ring Road.
Untunglah ada supirmu yang masih menghadang angin dingin nan menyesak
Aku?
Tentu sendirian,
gemetar mengikhlaskan dingin membuat gigiku bergemeretak

Malam begitu merdu melukiskan kesendirian
Gurat awan samar jelas terpantul cahaya bulan yang setengah penuh.
Dan kau, Mar,
Aku saksikan tenang dalam boncengannya.

Aku  sebenarnya sudah terbiasa, menikmati malam dalam sendiri
Aku bahkan yakin
Tidak ada yang lebih mendamaikan ketika sendiri
Tapi tadi, Mar
Embuh piye, bisa bisanya kamu mengganggu
Mengganggu lamunanku
Lamunan akan kesendirian
dengan geraian rambutmu yang terbang diterpa angin
dengan berkas ringkih kecil badanmu terbalut jaket ungu

Apalah aku ini, lelaki yang tak kuasa mengendalikan hati
Yang biasa garang melawan padatnya Jalan Afandi,
Malam ini ikhlas berjalan lambat menuruti batas kecepatan
Sebatas ingin lebih lama
Menyaksikanmu dalam boncengan

Dalam dingin,
Lewat rembulan,
Melalui desing kenalpot Ninja yang tadi aku salip
Diam diam aku berharap


Aku pun ingin memboncengmu, Mar
Continue reading →
Friday, October 30

Bukan rakyat yang seharusnya merenung

0 comments
 Sore ini, Jogja terlihat lebih sendu. Angin sepoi sepoi depan kosan pun sungguh menenangkan, seperti merajuk untuk menghantar ke alam mimpi. Namun, mengingat besok adalah hari dimana saya harus menghadapi Ujian Tengah Semester (UTS), saya kemudian menolak dengan halus ajakan sang angin.

Well, setelah selesai membaca materi tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam, saya kemudian menyalakan laptop untuk mencari reverensi soal soal untuk UTS besok. Sekalian senggang, saya pun membuka laman facebook.

Ada yang menyita perhatian saya. Yaitu adalah sebuah postingan beserta link tautan menuju halaman berita lain dari seorang rekan yang membahas tentang unik dan berbedanya pendidikan Jepang dengan Indonesia. Aspek pendidikan itupun kemudian dikaitkan dengan proses regenerasi Pemimpin di Indonesia, yang saat ini terlihat cukup lesu.

Menunggu download-an soal, saya pun kemudian membaca postingan itu.

Tulisan itu dimuat di Kompasiana, dan penulisnya adalah seorang Ekonom di Surabaya yang anaknya bersekolah di SD Negeri di Tokyo. Kebetulan, SD dimana anaknya bersekolah itu sedang mengadakan “open school” yang mempersilakan orang tua wali murid untuk masuk kedalam kelas dan menyaksikan proses belajar mengajar. Tulisan itu secara sederhana namun mengena mencoba menjabarkan tentang perbedaan penekanan aspek pendidikan yang diberlakukan di Jepang dengan yang diberlakukan di Indonesia.

Dijabarkan bahwa, pendidikan yang diberlakukan di Jepang adalah menekankan kepada aspek pendidikan moral. Pendidikan yang kemudian berjalan memiliki tujuan agar anak didik yang bersekolah mengenal, memahami, dan melaksanakan prinsip kesantunan moral yang diajarkan dan secara masif diberlakukan di Jepang. Pendidikan moral tersebut juga kemudian didukung oleh pihak diluar sekolah agar pelajaran moral yang diajarkan disekolah kemudian tidak “rusak” jika anak anak didik itu melihat kepada realita. Sehingga, mengharuskan masyarakat dan khususnya keluarga anak didik mengikuti alur pendidikan yang diajarkan.

Disana, anak anak diajarkan untuk melayani teman temannya, dengan cara secara bergantian, ketika waktu makan siang bersama, ada beberapa murid yang melayani murid lain dalam mengambil makanan serta minuman. Anak anak pun diajarkan untuk mandiri dengan secara bergiliran ditugaskan untuk membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Sepele memang, namun telah menjadi bukti bahwa hal inilah yang menjadikan masyarakat Jepang menjadi sosok yang kuat, mandiri, dan tangguh.

Cerita mengenai tulisan itu secara lengkap bisa disimak di tautan berikut 

Tetapi, bukan itu semua yang saya bahas.

Justru yang ingin saya bahas adalah mengenai komentar yang terdapat pada kolom komentar yang ada dibawahnya. Bukan komentar panjang lebar, bukan komentar yang bernada intelektual yang menjelaskan “mengapa Indonesia bisa seperti ini”, bukan pula komentar serapah yang diketik oleh orang yang ber-intelegensia dibawah 69.

Justru hanya komentar pendek saja. Ditulis oleh @ timur link yang bunyinya :

“ ... perlu direnungkan ... “


Hmm...

Beberapa diantara kalian mungkin tidak melihat sesuatu yang istimewa, namun justru saya menangkap lain.

Yang terlintas dikepala saya adalah

“ Mengapa justru rakyat yang harus merenungkannya? “

Lho ... Rakyat itu lho bisa apa jika kemudian merenungkan hal sebesar ini. Dimana tidak ada daya dan kemampuan untuk merubah regulasi pendidikan di Indonesia yang skalanya adalah nasional.

Mengapa? Mengapa justru rakyat yang “nalarnya harus peka”?

Dan mengepa kalimat ini tidak kemudian keluar daripada manusia yang ada “diatas”?


Jika kita serius membandingkan sistem pendidikan Indonesia – dalam tulisan ini dibandingkan dengan Jepang – maka yang menjadi sumber daripada permasalahannya adalah “manusia yang membuat regulasi seperti ini”.

Seperti yang sedikit saya sebut diatas, bahwa sistem pendidikan Jepang merupakan sistem pendidikan yang terintegrasi secara optimal dengan faktor faktor lain yang berada diluar dari sekolah. Orang tua murid, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat pun juga melaksanakan apa yang diajarkan oleh sekolah kepada para siswa, yaitu karakter moral yang kuat dan baik. Pemerintah yang membuat regulasi melihat bahwa, akan sangat percuma apabila sistem pendidikan Jepang yang menumpukan materinya pada pendidikan moral siswanya, justru kemudian “dirusak” oleh lingkungan dimana dia tinggal.

Hal inilah yang menyadarkan bahwa, peran yang paling besar ialah peran pemerintah. Pemerintah harus membuat sistem dan regulasi yang demikian bagus serta terintegrasi sehingga materi yang diajarkan disekolah tidak kemudian “rusak” ketika para siswa kembali kepada realita kehidupan mereka masing masing.

Hal inilah yang menjadikan bahwa

Bukanlah rakyat yang seharusnya merenung

Karena kemampuan itu tidak dimiliki rakyat, kemampuan untuk merubah regulasi, membuat sistem, bahkan memaksakan sistem, tidak dimiliki oleh masyarakat.

Sungguh menjadi sebuah ironi bagi saya, melihat bahwa justru yang “peka” terhadap masalah adalah masyarakat itu sendiri, bukan malah pemerintah yang punya “kekuasaan”.


Berbagi sedikit, saya sendiri adalah pribadi yang cukup concern dengan keadaan pendidikan di Indonesia. Ada suatu peristiwa yang begitu “memilukan” yang pernah saya alami.

Ketika saya SMA, saya mengikuti sebuah keorganisasian, yaitu Forum for Indonesia Chapter Ponorogo. Ketika itu, agenda yang kami buat adalah berupa sebuah seminar sederhana yang mengundang narasumber dari dinas kesehatan yang menjelaskan tentang bahaya narkoba, merokok, serta HIV/AIDS. Targetnya adalah siswa/siswi SMP kala itu. Kami pun memilih di salah satu SMP yang ada di daerah Sukorejo, Ponorogo. Sosialisasi itu dibuat sesederhana dan menarik bagi siswa/siswi SMP saat itu. Awalnya, acara itu berjalan cukup baik, respon yang cukup positif. Namun, mendekati acara berakhir, siswa/siswi ini tidak sabaran untuk segera mengakhiri kegiatan sosialisasi, padahal sekolah pun sudah menyediakan waktu khusus sehingga ketika sosialisasi selesai para siswa bisa langsung pulang. Hingga akhirnya, karena tidak sabaran itulah mereka semua serentak meninggalkan tempat sosialisasi. Tim guru yang kami mintai bantuan untuk mencegah siswa pun juga tidak bisa berbuat banyak. Alhasil, sosialisasi itu berakhir dengan “sedikit aneh”.

Saya menangis kali itu. Saya tahu, itu bukan salah saya dan tidak ada “kewajiban” bagi saya untuk “repot repot berbagi” dengan mereka.

Tetapi, apakah itu benar sesuatu yang baik ketika anda tidak menghargai orang yang meminta anda bersabar untuk sesuatu yang sesungguhnya berguna untuk anda sendiri?

Saya menangis karena upaya saya dan teman teman sungguh tidak “dihormati”. Tetapi dilain pihak, saya menangisi sikap sikap yang arogan dan semaunya sendiri yang mereka tunjukan.

Saya bingung harus menyalahkan siapa.

Apakah anak anak itu yangmana, sikap itu merupakan “bawaan” mereka?

Atau

Salah pemerintah yang tidak becus menyusun regulasi dan sistem yang mampu mencegah hal seperti ini terjadi.

Tetapi,

Mengapa justru selalu masyarakat yang lebih “peka” ?

Dan bukan pemerintah ?



Intinya,
Bukan rakyatlah yang seharusnya merenung
Continue reading →