Sore
ini, Jogja terlihat lebih sendu. Angin sepoi sepoi depan kosan pun sungguh
menenangkan, seperti merajuk untuk menghantar ke alam mimpi. Namun, mengingat
besok adalah hari dimana saya harus menghadapi Ujian Tengah Semester (UTS),
saya kemudian menolak dengan halus ajakan sang angin.
Well, setelah selesai membaca materi tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam,
saya kemudian menyalakan laptop untuk mencari reverensi soal soal untuk UTS
besok. Sekalian senggang, saya pun membuka laman facebook.
Ada
yang menyita perhatian saya. Yaitu adalah sebuah postingan beserta link tautan
menuju halaman berita lain dari seorang rekan yang membahas tentang unik dan
berbedanya pendidikan Jepang dengan Indonesia. Aspek pendidikan itupun kemudian
dikaitkan dengan proses regenerasi Pemimpin di Indonesia, yang saat ini
terlihat cukup lesu.
Menunggu
download-an soal, saya pun kemudian membaca postingan itu.
Tulisan
itu dimuat di Kompasiana, dan penulisnya adalah seorang Ekonom di Surabaya yang
anaknya bersekolah di SD Negeri di Tokyo. Kebetulan, SD dimana anaknya
bersekolah itu sedang mengadakan “open
school” yang mempersilakan orang tua wali murid untuk masuk kedalam kelas
dan menyaksikan proses belajar mengajar. Tulisan itu secara sederhana namun
mengena mencoba menjabarkan tentang perbedaan penekanan aspek pendidikan yang
diberlakukan di Jepang dengan yang diberlakukan di Indonesia.
Dijabarkan
bahwa, pendidikan yang diberlakukan di Jepang adalah menekankan kepada aspek
pendidikan moral. Pendidikan yang kemudian berjalan memiliki tujuan agar anak
didik yang bersekolah mengenal, memahami, dan melaksanakan prinsip kesantunan
moral yang diajarkan dan secara masif diberlakukan di Jepang. Pendidikan moral
tersebut juga kemudian didukung oleh pihak diluar sekolah agar pelajaran moral
yang diajarkan disekolah kemudian tidak “rusak” jika anak anak didik itu
melihat kepada realita. Sehingga, mengharuskan masyarakat dan khususnya
keluarga anak didik mengikuti alur pendidikan yang diajarkan.
Disana,
anak anak diajarkan untuk melayani teman temannya, dengan cara secara
bergantian, ketika waktu makan siang bersama, ada beberapa murid yang melayani
murid lain dalam mengambil makanan serta minuman. Anak anak pun diajarkan untuk
mandiri dengan secara bergiliran ditugaskan untuk membersihkan dan menyikat WC,
menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus
melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Sepele memang, namun telah menjadi bukti
bahwa hal inilah yang menjadikan masyarakat Jepang menjadi sosok yang kuat,
mandiri, dan tangguh.
Cerita
mengenai tulisan itu secara lengkap bisa disimak di tautan berikut
Tetapi,
bukan itu semua yang saya bahas.
Justru
yang ingin saya bahas adalah mengenai komentar yang terdapat pada kolom
komentar yang ada dibawahnya. Bukan komentar panjang lebar, bukan komentar yang
bernada intelektual yang menjelaskan “mengapa Indonesia bisa seperti ini”,
bukan pula komentar serapah yang diketik oleh orang yang ber-intelegensia
dibawah 69.
Justru
hanya komentar pendek saja. Ditulis oleh @ timur link yang bunyinya :
“
... perlu direnungkan ... “
Hmm...
Beberapa
diantara kalian mungkin tidak melihat sesuatu yang istimewa, namun justru saya
menangkap lain.
Yang
terlintas dikepala saya adalah
“
Mengapa justru rakyat yang harus merenungkannya? “
Lho
... Rakyat itu lho bisa apa jika kemudian merenungkan hal sebesar ini. Dimana
tidak ada daya dan kemampuan untuk merubah regulasi pendidikan di Indonesia
yang skalanya adalah nasional.
Mengapa?
Mengapa justru rakyat yang “nalarnya harus peka”?
Dan
mengepa kalimat ini tidak kemudian keluar daripada manusia yang ada “diatas”?
Jika
kita serius membandingkan sistem pendidikan Indonesia – dalam tulisan ini
dibandingkan dengan Jepang – maka yang menjadi sumber daripada permasalahannya
adalah “manusia yang membuat regulasi seperti ini”.
Seperti
yang sedikit saya sebut diatas, bahwa sistem pendidikan Jepang merupakan sistem
pendidikan yang terintegrasi secara optimal dengan faktor faktor lain yang
berada diluar dari sekolah. Orang tua murid, lingkungan sekolah, lingkungan
masyarakat pun juga melaksanakan apa yang diajarkan oleh sekolah kepada para
siswa, yaitu karakter moral yang kuat dan baik. Pemerintah yang membuat
regulasi melihat bahwa, akan sangat percuma apabila sistem pendidikan Jepang
yang menumpukan materinya pada pendidikan moral siswanya, justru kemudian “dirusak”
oleh lingkungan dimana dia tinggal.
Hal
inilah yang menyadarkan bahwa, peran yang paling besar ialah peran pemerintah.
Pemerintah harus membuat sistem dan regulasi yang demikian bagus serta terintegrasi
sehingga materi yang diajarkan disekolah tidak kemudian “rusak” ketika para
siswa kembali kepada realita kehidupan mereka masing masing.
Hal
inilah yang menjadikan bahwa
Bukanlah
rakyat yang seharusnya merenung
Karena
kemampuan itu tidak dimiliki rakyat, kemampuan untuk merubah regulasi, membuat
sistem, bahkan memaksakan sistem, tidak dimiliki oleh masyarakat.
Sungguh
menjadi sebuah ironi bagi saya, melihat bahwa justru yang “peka” terhadap
masalah adalah masyarakat itu sendiri, bukan malah pemerintah yang punya “kekuasaan”.
Berbagi
sedikit, saya sendiri adalah pribadi yang cukup concern dengan keadaan pendidikan di Indonesia. Ada suatu peristiwa
yang begitu “memilukan” yang pernah saya alami.
Ketika
saya SMA, saya mengikuti sebuah keorganisasian, yaitu Forum for Indonesia
Chapter Ponorogo. Ketika itu, agenda yang kami buat adalah berupa sebuah
seminar sederhana yang mengundang narasumber dari dinas kesehatan yang menjelaskan
tentang bahaya narkoba, merokok, serta HIV/AIDS. Targetnya adalah siswa/siswi
SMP kala itu. Kami pun memilih di salah satu SMP yang ada di daerah Sukorejo,
Ponorogo. Sosialisasi itu dibuat sesederhana dan menarik bagi siswa/siswi SMP
saat itu. Awalnya, acara itu berjalan cukup baik, respon yang cukup positif.
Namun, mendekati acara berakhir, siswa/siswi ini tidak sabaran untuk segera
mengakhiri kegiatan sosialisasi, padahal sekolah pun sudah menyediakan waktu
khusus sehingga ketika sosialisasi selesai para siswa bisa langsung pulang.
Hingga akhirnya, karena tidak sabaran itulah mereka semua serentak meninggalkan
tempat sosialisasi. Tim guru yang kami mintai bantuan untuk mencegah siswa pun
juga tidak bisa berbuat banyak. Alhasil, sosialisasi itu berakhir dengan “sedikit
aneh”.
Saya
menangis kali itu. Saya tahu, itu bukan salah saya dan tidak ada “kewajiban”
bagi saya untuk “repot repot berbagi” dengan mereka.
Tetapi,
apakah itu benar sesuatu yang baik ketika anda tidak menghargai orang yang
meminta anda bersabar untuk sesuatu yang sesungguhnya berguna untuk anda
sendiri?
Saya
menangis karena upaya saya dan teman teman sungguh tidak “dihormati”. Tetapi dilain
pihak, saya menangisi sikap sikap yang arogan dan semaunya sendiri yang mereka
tunjukan.
Saya
bingung harus menyalahkan siapa.
Apakah
anak anak itu yangmana, sikap itu merupakan “bawaan” mereka?
Atau
Salah
pemerintah yang tidak becus menyusun regulasi dan sistem yang mampu mencegah
hal seperti ini terjadi.
Tetapi,
Mengapa
justru selalu masyarakat yang lebih “peka” ?
Dan
bukan pemerintah ?
Intinya,
Bukan
rakyatlah yang seharusnya merenung
