Friday, October 30

Bukan rakyat yang seharusnya merenung

0 comments
 Sore ini, Jogja terlihat lebih sendu. Angin sepoi sepoi depan kosan pun sungguh menenangkan, seperti merajuk untuk menghantar ke alam mimpi. Namun, mengingat besok adalah hari dimana saya harus menghadapi Ujian Tengah Semester (UTS), saya kemudian menolak dengan halus ajakan sang angin.

Well, setelah selesai membaca materi tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam, saya kemudian menyalakan laptop untuk mencari reverensi soal soal untuk UTS besok. Sekalian senggang, saya pun membuka laman facebook.

Ada yang menyita perhatian saya. Yaitu adalah sebuah postingan beserta link tautan menuju halaman berita lain dari seorang rekan yang membahas tentang unik dan berbedanya pendidikan Jepang dengan Indonesia. Aspek pendidikan itupun kemudian dikaitkan dengan proses regenerasi Pemimpin di Indonesia, yang saat ini terlihat cukup lesu.

Menunggu download-an soal, saya pun kemudian membaca postingan itu.

Tulisan itu dimuat di Kompasiana, dan penulisnya adalah seorang Ekonom di Surabaya yang anaknya bersekolah di SD Negeri di Tokyo. Kebetulan, SD dimana anaknya bersekolah itu sedang mengadakan “open school” yang mempersilakan orang tua wali murid untuk masuk kedalam kelas dan menyaksikan proses belajar mengajar. Tulisan itu secara sederhana namun mengena mencoba menjabarkan tentang perbedaan penekanan aspek pendidikan yang diberlakukan di Jepang dengan yang diberlakukan di Indonesia.

Dijabarkan bahwa, pendidikan yang diberlakukan di Jepang adalah menekankan kepada aspek pendidikan moral. Pendidikan yang kemudian berjalan memiliki tujuan agar anak didik yang bersekolah mengenal, memahami, dan melaksanakan prinsip kesantunan moral yang diajarkan dan secara masif diberlakukan di Jepang. Pendidikan moral tersebut juga kemudian didukung oleh pihak diluar sekolah agar pelajaran moral yang diajarkan disekolah kemudian tidak “rusak” jika anak anak didik itu melihat kepada realita. Sehingga, mengharuskan masyarakat dan khususnya keluarga anak didik mengikuti alur pendidikan yang diajarkan.

Disana, anak anak diajarkan untuk melayani teman temannya, dengan cara secara bergantian, ketika waktu makan siang bersama, ada beberapa murid yang melayani murid lain dalam mengambil makanan serta minuman. Anak anak pun diajarkan untuk mandiri dengan secara bergiliran ditugaskan untuk membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Sepele memang, namun telah menjadi bukti bahwa hal inilah yang menjadikan masyarakat Jepang menjadi sosok yang kuat, mandiri, dan tangguh.

Cerita mengenai tulisan itu secara lengkap bisa disimak di tautan berikut 

Tetapi, bukan itu semua yang saya bahas.

Justru yang ingin saya bahas adalah mengenai komentar yang terdapat pada kolom komentar yang ada dibawahnya. Bukan komentar panjang lebar, bukan komentar yang bernada intelektual yang menjelaskan “mengapa Indonesia bisa seperti ini”, bukan pula komentar serapah yang diketik oleh orang yang ber-intelegensia dibawah 69.

Justru hanya komentar pendek saja. Ditulis oleh @ timur link yang bunyinya :

“ ... perlu direnungkan ... “


Hmm...

Beberapa diantara kalian mungkin tidak melihat sesuatu yang istimewa, namun justru saya menangkap lain.

Yang terlintas dikepala saya adalah

“ Mengapa justru rakyat yang harus merenungkannya? “

Lho ... Rakyat itu lho bisa apa jika kemudian merenungkan hal sebesar ini. Dimana tidak ada daya dan kemampuan untuk merubah regulasi pendidikan di Indonesia yang skalanya adalah nasional.

Mengapa? Mengapa justru rakyat yang “nalarnya harus peka”?

Dan mengepa kalimat ini tidak kemudian keluar daripada manusia yang ada “diatas”?


Jika kita serius membandingkan sistem pendidikan Indonesia – dalam tulisan ini dibandingkan dengan Jepang – maka yang menjadi sumber daripada permasalahannya adalah “manusia yang membuat regulasi seperti ini”.

Seperti yang sedikit saya sebut diatas, bahwa sistem pendidikan Jepang merupakan sistem pendidikan yang terintegrasi secara optimal dengan faktor faktor lain yang berada diluar dari sekolah. Orang tua murid, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat pun juga melaksanakan apa yang diajarkan oleh sekolah kepada para siswa, yaitu karakter moral yang kuat dan baik. Pemerintah yang membuat regulasi melihat bahwa, akan sangat percuma apabila sistem pendidikan Jepang yang menumpukan materinya pada pendidikan moral siswanya, justru kemudian “dirusak” oleh lingkungan dimana dia tinggal.

Hal inilah yang menyadarkan bahwa, peran yang paling besar ialah peran pemerintah. Pemerintah harus membuat sistem dan regulasi yang demikian bagus serta terintegrasi sehingga materi yang diajarkan disekolah tidak kemudian “rusak” ketika para siswa kembali kepada realita kehidupan mereka masing masing.

Hal inilah yang menjadikan bahwa

Bukanlah rakyat yang seharusnya merenung

Karena kemampuan itu tidak dimiliki rakyat, kemampuan untuk merubah regulasi, membuat sistem, bahkan memaksakan sistem, tidak dimiliki oleh masyarakat.

Sungguh menjadi sebuah ironi bagi saya, melihat bahwa justru yang “peka” terhadap masalah adalah masyarakat itu sendiri, bukan malah pemerintah yang punya “kekuasaan”.


Berbagi sedikit, saya sendiri adalah pribadi yang cukup concern dengan keadaan pendidikan di Indonesia. Ada suatu peristiwa yang begitu “memilukan” yang pernah saya alami.

Ketika saya SMA, saya mengikuti sebuah keorganisasian, yaitu Forum for Indonesia Chapter Ponorogo. Ketika itu, agenda yang kami buat adalah berupa sebuah seminar sederhana yang mengundang narasumber dari dinas kesehatan yang menjelaskan tentang bahaya narkoba, merokok, serta HIV/AIDS. Targetnya adalah siswa/siswi SMP kala itu. Kami pun memilih di salah satu SMP yang ada di daerah Sukorejo, Ponorogo. Sosialisasi itu dibuat sesederhana dan menarik bagi siswa/siswi SMP saat itu. Awalnya, acara itu berjalan cukup baik, respon yang cukup positif. Namun, mendekati acara berakhir, siswa/siswi ini tidak sabaran untuk segera mengakhiri kegiatan sosialisasi, padahal sekolah pun sudah menyediakan waktu khusus sehingga ketika sosialisasi selesai para siswa bisa langsung pulang. Hingga akhirnya, karena tidak sabaran itulah mereka semua serentak meninggalkan tempat sosialisasi. Tim guru yang kami mintai bantuan untuk mencegah siswa pun juga tidak bisa berbuat banyak. Alhasil, sosialisasi itu berakhir dengan “sedikit aneh”.

Saya menangis kali itu. Saya tahu, itu bukan salah saya dan tidak ada “kewajiban” bagi saya untuk “repot repot berbagi” dengan mereka.

Tetapi, apakah itu benar sesuatu yang baik ketika anda tidak menghargai orang yang meminta anda bersabar untuk sesuatu yang sesungguhnya berguna untuk anda sendiri?

Saya menangis karena upaya saya dan teman teman sungguh tidak “dihormati”. Tetapi dilain pihak, saya menangisi sikap sikap yang arogan dan semaunya sendiri yang mereka tunjukan.

Saya bingung harus menyalahkan siapa.

Apakah anak anak itu yangmana, sikap itu merupakan “bawaan” mereka?

Atau

Salah pemerintah yang tidak becus menyusun regulasi dan sistem yang mampu mencegah hal seperti ini terjadi.

Tetapi,

Mengapa justru selalu masyarakat yang lebih “peka” ?

Dan bukan pemerintah ?



Intinya,
Bukan rakyatlah yang seharusnya merenung

Leave a Reply