Hari
yang padat waktu itu. Tepatnya hari Kamis, 24 April 2014. Bukan hari yang
se-spesial hari kemerdekaan dan bahkan juga lewat pada hari Kartini, tapi bagi
saya, hari itu, adalah hari yang paling mengesankan dalam bulan April ini.
Bahkan April Mop pun tidak pernah sepadan untuk dibandingkan dengannya.
Semoga,
tulisan ini menjadi tulisan yang panjang dan mampu mewakili apa yang saya
alami, saya rasakan dan mengantar saya untuk tidur nyenyak.
Jam
3 sore, Hari Selasa tanggal 22 April. Entah ada angin apa, saya dengan begitu
kebetulannya sedang Online LINE lewat smart phone saya. Ada pesan dari
Turuntangan untuk kopdar (kopi darat) alias ketemuan di Djendelo Kafe, Gejayan
lantai 2 Toga Mas. Saya pun menyadari betapa dekatnya saya dengan lokasi kumpul
itu. Dengan semangat yang entah darimana, saya menyegerakan sendiri untuk
datang.
Saya
memiliki masalah dengan gaya bersosial yang datang ke suatu tempat umum,
sendirian. Ada rasa takut, malu, dan tidak percaya diri yang memenuhi seluruh
isi kepala saya. Bahkan melakukan hal bodoh atau bahkan goblok banget. Saya nggak pernah sebelumnya ke Djendelo Kafe dan
tidak tahu tangga yang mana yang benar untuk menuju ke lantai 2 itu. Karena
tidak awas melihat, saya pun menuju tangga yang ternyata pintunya ditutup.
Setelah tanya kepada petugas, eh, ternyata tangga keatasnya ada dibagian yang
agak ketengah dari Toga Mas itu sendiri.
Saya
naik dengan sedikit ragu, “sudah ada yang
datang sebelum saya nggak ya?” Pertanyaan ini muncul terus menerus dan
membayangi setiap langkah saya menuju tempat yang dijanjikan. Syukurlah, sudah
ada mas Haris dan mas Pras yang berada di TKP. Fiuh leganya.
Setelah
saling sapa dan menanyakan kabar secukupnya, pembahasan pun dimulai. Alasan
kenapa kami dikumpulkan dalam waktu yang mendadak ini adalah kami, tim
Turuntangan Yogyakarta disuguhi momentum akan datangnya pak Anies Baswedan ke
Jogja pada hari Jumat. Ingin rasa agar tidak menyianyiakan kesempatan ini, kami
ceritanya ditawari untuk mengadakan bedah buku biografi beliau yang ditulis
oleh mas M. Husnil yang menjadi salah satu relawan turuntangan juga. Ternyata,
di Surabaya juga sudah dilaksanakan bedah buku beberapa hari yang lalu. Nah,
sekarang giliran Jogja yang ditawari.
Sebagai
pejuang, kami tahu kesempatan tidak datang dua kali, dan kami tahu adalah emas
untuk memanfaatkannya.
Yes, We said yes. Dan kita diberikan waktu kurang dari 3 hari untuk mempersiapkan
semuanya.
Singkat
cerita, saya diberi tanggung jawab sebagai Penanggung Jawab pengadaan proyektor
dan layarnya, serta sebagai Penanggung Jawab untuk mengarahkan peserta bedah
buku untuk memenuhi tempat yang disediakan. Kasarnya, orang yang mengarah arah
agar orang orang mau menempati tempat yang ada biar penuh dulu.
Saya
tidak tahu menahu bakal dimana saya akan pinjam alat proyektor itu dengan
layarnya, tapi saya siap untuk petugas pengarah
arah. Saya pun meminta bantuan kepada mas Arief yang memang memiliki link
yang baik dalam urusan sarana prasarana. Beliaupun mengiyakan. Jadi, tugas saya
waktu itu adalah mengambil barang tadi dari mas Arief dan bukan hal sulit
menurut saya, tinggal masalah bensin.
Diskusi
pun berakhir jam setengah 9 malam. Saya pun membeli makan diburjo sebelum
pulang kekosan. Istirahat untuk besok.
Rabu,
23 April 2014. Waktu pun semakin mendekati hari H. Kami para relawan pun mulai
menyebarkan lewat media sosial poster yang sudah dibuat oleh mas Gus Randy.
Publikasi secara online-lah yang paling mungkin jika melihat betapa mepetnya
waktu itu.
Hari
Rabu sendiri jadwal kuliah saya lumayan parah padatnya, dari jam 7 pagi dan
baru keluar kelas jam 1 siang. Itu pun biasanya perut masih kosong. Istirahat
sebentar dikos, lalu jam 5 langsung lanjut briefing ditempat yang sama.
Pengarahan diberikan dari mas Haris dan mbak Riska kepada temen temen yang
bertugas sebagai PJ (Penanggung Jawab) dan temen temen yang bertugas secara
teknis yang lain.
Jujur
saja, saya masih dalam proses untuk menyesuaikan diri dengan segala sendi
kehidupan yang menurut saya baru di Jogja ini. I’m still progressing. Dan diberi tanggung jawab PJ menurut saya,
cukup membebani walaupun terdengar dan terlihat sepele, tapi ada tekanan lebih
lagi ketika mengingat waktunya yang mepet. Dan saya cenderung tidak bergerak.
Saya terkesan pasrah saja dan menunggu komando dari mas Arief, barangnya saya ambil kapan dan dimana,
nunggu mas Arief saja, kurang lebih seperti itu yang ada dalam benak saya.
Disini, saya dikoreksi. Sebagai PJ saya punya wewenang untuk “menekan” agar
mendapatkan kepastian tentang barang yang menjadi tanggung jawab saya. Jadi,
prinsipnya, tetep saya yang “mengejar”, bukan menunggu dari mas Ariefnya. Dan
saya pun mengiyakan, benar memang, saya cuman menunggu saja. Seketika pun
langsung saya hubungi dan berusaha memastikan ke mas Arief. Alhamdulillah,
Done, fix besok siang akan bisa diambil proyektornya. Kenapa nggak mas Arief sendiri yang mengantar ke TKP? Itu karena
mas Arief punya kepentingan sendiri yang tidak bisa ditinggalkan, ada acara
Kelas Inspirasi di Jogja Paradise, dan beliau membantu disana.
Saya
pun pamit dahulu, sekitar jam 7.10 malam karena mau latihan padusa.
Dan
hari Istimewa itu, tiba juga.
Kuliah
saya hari Kamis memang sedikit rese jadwalnya, yaitu jam 9 sampi jam 11. Lalu dilanjut
jam 1 siang sampai jam 3 sore. Nggak bisa langsung estafet. Dan karena pulang
saya H- 2jam dari acara bedah buku, itu jadi tambahan masalah.
Dan
benar, saya kelabakan. Saya kos memang jauh dari kampus, niatnya biar nggak
bosen. Dan karena itulah, waktu pulang kekospun jadi masalah, karena saya harus
mengambil peralatan ke mas Arief yang rutenya memaksa saya untuk bolak balik.
Mandi
dan sebagainya sudah saya tuntaskan, rasa lapar pun saya tahan. Jam 4.45 menit,
sore hari, saya berangkat dari kos untuk ambil proyektor ke mas Arief yang
berjarak 15 menit perjalanan. Beliau ada di Jogja Paradise, saya ada di Gejayan
yang dekat dengan TKP bedah buku. Disinilah maksud saya bolak balik itu tadi.
Setelah
ketemu dengan mas Arief, saya pikir beliau sudah membawa barangnya, eh, tenyata
belum dibawa. Dan harus diambil di Sidji Batik. Langsung saja kami berangkat
dengan lumayan buru buru. Sampai di Sidji Batik, yang perjanjian semula adalah
proyektor dan layar, ternyata, hanya proyektor doang. Puyeng ini kepala
mikirnya. Gimanaa kalo diomelin macem macem coba. Apalagi, inikan sudah jadi
tanggung jawab saya, bisa dibilang saya nggak bisa memenuhi tanggung jawab itu.
Tapi
daripada saya semakin membuat orang yang ada di Djendelo Kafe resah, saya pun
berangkat dahulu dengan menenteng
proyektor saja. Udah gak sempat mikir mau cari layar dimana, yang penting saya
sampai dulu di TKP dan menyerahkan proyektor ini.
Saya
datang cukup telat dan membawa kabar yang bikin bingung beberapa temen lain.
Saya bawa proyektor tanpa layar, nah, mau ditembakkan kearah mana terusan??
Saya
pun ditegur dan ditenangkan secara halus oleh mas Haris. Saya bener bener gugup
dan bingung. Tergopoh gopoh mungkin bahasa Indonesianya. Ya saya ngerti, ini
murni kesalahan saya. Saya mengakuinya, dan saya pun juga kecewa dengan diri
saya sendiri.
Tapi
urusan saya nggak berhenti disitu, saya harus menjemput rekan sesame relawan
yang tidak tau lokasi Djendelo Kafe ini dimana. Alhasil, saya bolak balik lagi
untuk ketiga kalinya. Setelah sampai, saya berusaha menceritakan apa yang
terjadi, dan saya pun minta bantuan dan saran untuk mencari dimana dan siapa
yang bisa kita pinjami layar proyektor. Kami pun akhirnya mencoba datang
kesaudaranya mas Apri ini. Ketika dihampiri orangnya, orangnya nggak ada. Yang
ada adalah orang tuanya namun beliau nggak ngerti apa apa. Setelah meminta
nomer saudaranya mas Apri ini dan ditelpon, saya pun berharap agar layarnya
memang masih ada, dan saya bisa membayar rasa bersalah saya ini. Tapi, keadaan
seolah bilang dengan gaya Anang Hermansyah “kalau
aku sih NO, nggak tau kali mas Dhani”.
Harapan
terakhir, pupus.
Karena
semakin sore, akhirnya kami berdua segera kembali ke Djendelo Kafe untuk
membantu apa yang bisa dibantu.
Sesampai
kembali disana, ternyata kok sudah ada layar yang datangnya entah darimana. Saya
pun kaget sendiri, ini layar siapa yang
bawa?? Oh ternyata ada mbak Ebi yang menjadi penyelamat. Beliau membawa
layar dan proyektor juga yang beliau pinjam dari UNY. Bersyukur banget dah,
akhirnya rencana awal untuk memutar video video Anies Baswedan lewat proyektor
bisa dieksekusi. Saya pun diduduk disalah satu kursi agak jauh dari teman teman
yang lain.
Berusaha
tenang, berusaha mengatur nafas. Mas Apri pun duduk disamping saya, diam dan
menemani saya. Mungkin dia mengerti dan berusaha memberi waktu untuk saya.
Waktu
untuk saya, untuk mensyukuri semua dan mengintrospeksi kesalahan saya.
