Friday, April 25

Guilty

0 comments
Hari yang padat waktu itu. Tepatnya hari Kamis, 24 April 2014. Bukan hari yang se-spesial hari kemerdekaan dan bahkan juga lewat pada hari Kartini, tapi bagi saya, hari itu, adalah hari yang paling mengesankan dalam bulan April ini. Bahkan April Mop pun tidak pernah sepadan untuk dibandingkan dengannya.

Semoga, tulisan ini menjadi tulisan yang panjang dan mampu mewakili apa yang saya alami, saya rasakan dan mengantar saya untuk tidur nyenyak.

Jam 3 sore, Hari Selasa tanggal 22 April. Entah ada angin apa, saya dengan begitu kebetulannya sedang Online LINE lewat smart phone saya. Ada pesan dari Turuntangan untuk kopdar (kopi darat) alias ketemuan di Djendelo Kafe, Gejayan lantai 2 Toga Mas. Saya pun menyadari betapa dekatnya saya dengan lokasi kumpul itu. Dengan semangat yang entah darimana, saya menyegerakan sendiri untuk datang.

Saya memiliki masalah dengan gaya bersosial yang datang ke suatu tempat umum, sendirian. Ada rasa takut, malu, dan tidak percaya diri yang memenuhi seluruh isi kepala saya. Bahkan melakukan hal bodoh atau bahkan goblok banget. Saya nggak pernah sebelumnya ke Djendelo Kafe dan tidak tahu tangga yang mana yang benar untuk menuju ke lantai 2 itu. Karena tidak awas melihat, saya pun menuju tangga yang ternyata pintunya ditutup. Setelah tanya kepada petugas, eh, ternyata tangga keatasnya ada dibagian yang agak ketengah dari Toga Mas itu sendiri.

Saya naik dengan sedikit ragu, “sudah ada yang datang sebelum saya nggak ya?” Pertanyaan ini muncul terus menerus dan membayangi setiap langkah saya menuju tempat yang dijanjikan. Syukurlah, sudah ada mas Haris dan mas Pras yang berada di TKP. Fiuh leganya.

Setelah saling sapa dan menanyakan kabar secukupnya, pembahasan pun dimulai. Alasan kenapa kami dikumpulkan dalam waktu yang mendadak ini adalah kami, tim Turuntangan Yogyakarta disuguhi momentum akan datangnya pak Anies Baswedan ke Jogja pada hari Jumat. Ingin rasa agar tidak menyianyiakan kesempatan ini, kami ceritanya ditawari untuk mengadakan bedah buku biografi beliau yang ditulis oleh mas M. Husnil yang menjadi salah satu relawan turuntangan juga. Ternyata, di Surabaya juga sudah dilaksanakan bedah buku beberapa hari yang lalu. Nah, sekarang giliran Jogja yang ditawari.

Sebagai pejuang, kami tahu kesempatan tidak datang dua kali, dan kami tahu adalah emas untuk memanfaatkannya.

Yes, We said yes. Dan kita diberikan waktu kurang dari 3 hari untuk mempersiapkan semuanya.

Singkat cerita, saya diberi tanggung jawab sebagai Penanggung Jawab pengadaan proyektor dan layarnya, serta sebagai Penanggung Jawab untuk mengarahkan peserta bedah buku untuk memenuhi tempat yang disediakan. Kasarnya, orang yang mengarah arah agar orang orang mau menempati tempat yang ada biar penuh dulu.

Saya tidak tahu menahu bakal dimana saya akan pinjam alat proyektor itu dengan layarnya, tapi saya siap untuk petugas pengarah arah. Saya pun meminta bantuan kepada mas Arief yang memang memiliki link yang baik dalam urusan sarana prasarana. Beliaupun mengiyakan. Jadi, tugas saya waktu itu adalah mengambil barang tadi dari mas Arief dan bukan hal sulit menurut saya, tinggal masalah bensin.

Diskusi pun berakhir jam setengah 9 malam. Saya pun membeli makan diburjo sebelum pulang kekosan. Istirahat untuk besok.

Rabu, 23 April 2014. Waktu pun semakin mendekati hari H. Kami para relawan pun mulai menyebarkan lewat media sosial poster yang sudah dibuat oleh mas Gus Randy. Publikasi secara online-lah yang paling mungkin jika melihat betapa mepetnya waktu itu.

Hari Rabu sendiri jadwal kuliah saya lumayan parah padatnya, dari jam 7 pagi dan baru keluar kelas jam 1 siang. Itu pun biasanya perut masih kosong. Istirahat sebentar dikos, lalu jam 5 langsung lanjut briefing ditempat yang sama. Pengarahan diberikan dari mas Haris dan mbak Riska kepada temen temen yang bertugas sebagai PJ (Penanggung Jawab) dan temen temen yang bertugas secara teknis yang lain.

Jujur saja, saya masih dalam proses untuk menyesuaikan diri dengan segala sendi kehidupan yang menurut saya baru di Jogja ini. I’m still progressing. Dan diberi tanggung jawab PJ menurut saya, cukup membebani walaupun terdengar dan terlihat sepele, tapi ada tekanan lebih lagi ketika mengingat waktunya yang mepet. Dan saya cenderung tidak bergerak. Saya terkesan pasrah saja dan menunggu komando dari mas Arief, barangnya saya ambil kapan dan dimana, nunggu mas Arief saja, kurang lebih seperti itu yang ada dalam benak saya. Disini, saya dikoreksi. Sebagai PJ saya punya wewenang untuk “menekan” agar mendapatkan kepastian tentang barang yang menjadi tanggung jawab saya. Jadi, prinsipnya, tetep saya yang “mengejar”, bukan menunggu dari mas Ariefnya. Dan saya pun mengiyakan, benar memang, saya cuman menunggu saja. Seketika pun langsung saya hubungi dan berusaha memastikan ke mas Arief. Alhamdulillah, Done, fix besok siang akan bisa diambil proyektornya. Kenapa nggak mas Arief sendiri yang mengantar ke TKP? Itu karena mas Arief punya kepentingan sendiri yang tidak bisa ditinggalkan, ada acara Kelas Inspirasi di Jogja Paradise, dan beliau membantu disana.

Saya pun pamit dahulu, sekitar jam 7.10 malam karena mau latihan padusa.

Dan hari Istimewa itu, tiba juga.

Kuliah saya hari Kamis memang sedikit rese jadwalnya, yaitu jam 9 sampi jam 11. Lalu dilanjut jam 1 siang sampai jam 3 sore. Nggak bisa langsung estafet. Dan karena pulang saya H- 2jam dari acara bedah buku, itu jadi tambahan masalah.

Dan benar, saya kelabakan. Saya kos memang jauh dari kampus, niatnya biar nggak bosen. Dan karena itulah, waktu pulang kekospun jadi masalah, karena saya harus mengambil peralatan ke mas Arief yang rutenya memaksa saya untuk bolak balik.

Mandi dan sebagainya sudah saya tuntaskan, rasa lapar pun saya tahan. Jam 4.45 menit, sore hari, saya berangkat dari kos untuk ambil proyektor ke mas Arief yang berjarak 15 menit perjalanan. Beliau ada di Jogja Paradise, saya ada di Gejayan yang dekat dengan TKP bedah buku. Disinilah maksud saya bolak balik itu tadi.

Setelah ketemu dengan mas Arief, saya pikir beliau sudah membawa barangnya, eh, tenyata belum dibawa. Dan harus diambil di Sidji Batik. Langsung saja kami berangkat dengan lumayan buru buru. Sampai di Sidji Batik, yang perjanjian semula adalah proyektor dan layar, ternyata, hanya proyektor doang. Puyeng ini kepala mikirnya. Gimanaa kalo diomelin macem macem coba. Apalagi, inikan sudah jadi tanggung jawab saya, bisa dibilang saya nggak bisa memenuhi tanggung jawab itu.

Tapi daripada saya semakin membuat orang yang ada di Djendelo Kafe resah, saya pun berangkat dahulu dengan menenteng proyektor saja. Udah gak sempat mikir mau cari layar dimana, yang penting saya sampai dulu di TKP dan menyerahkan proyektor ini.

Saya datang cukup telat dan membawa kabar yang bikin bingung beberapa temen lain. Saya bawa proyektor tanpa layar, nah, mau ditembakkan kearah mana terusan??

Saya pun ditegur dan ditenangkan secara halus oleh mas Haris. Saya bener bener gugup dan bingung. Tergopoh gopoh mungkin bahasa Indonesianya. Ya saya ngerti, ini murni kesalahan saya. Saya mengakuinya, dan saya pun juga kecewa dengan diri saya sendiri.

Tapi urusan saya nggak berhenti disitu, saya harus menjemput rekan sesame relawan yang tidak tau lokasi Djendelo Kafe ini dimana. Alhasil, saya bolak balik lagi untuk ketiga kalinya. Setelah sampai, saya berusaha menceritakan apa yang terjadi, dan saya pun minta bantuan dan saran untuk mencari dimana dan siapa yang bisa kita pinjami layar proyektor. Kami pun akhirnya mencoba datang kesaudaranya mas Apri ini. Ketika dihampiri orangnya, orangnya nggak ada. Yang ada adalah orang tuanya namun beliau nggak ngerti apa apa. Setelah meminta nomer saudaranya mas Apri ini dan ditelpon, saya pun berharap agar layarnya memang masih ada, dan saya bisa membayar rasa bersalah saya ini. Tapi, keadaan seolah bilang dengan gaya Anang Hermansyah “kalau aku sih NO, nggak tau kali mas Dhani”.

Harapan terakhir, pupus.

Karena semakin sore, akhirnya kami berdua segera kembali ke Djendelo Kafe untuk membantu apa yang bisa dibantu.

Sesampai kembali disana, ternyata kok sudah ada layar yang datangnya entah darimana. Saya pun kaget sendiri, ini layar siapa yang bawa?? Oh ternyata ada mbak Ebi yang menjadi penyelamat. Beliau membawa layar dan proyektor juga yang beliau pinjam dari UNY. Bersyukur banget dah, akhirnya rencana awal untuk memutar video video Anies Baswedan lewat proyektor bisa dieksekusi. Saya pun diduduk disalah satu kursi agak jauh dari teman teman yang lain.

Berusaha tenang, berusaha mengatur nafas. Mas Apri pun duduk disamping saya, diam dan menemani saya. Mungkin dia mengerti dan berusaha memberi waktu untuk saya.

Waktu untuk saya, untuk mensyukuri semua dan mengintrospeksi kesalahan saya.



Leave a Reply