Saturday, March 8

Mas, sik kenal aku gak?

0 comments
Saya bangga menjadi bagian dari Forum for Indonesia Chapter Ponorogo dan saya bangga pernah mengambil peran menjadi seorang motivator disana.

Hari ini saya belajar, kebanggaan itu sendiri tidak harus selalu dengan segala sesuatu yang besar, mewah, dan meriah. Tidak. Kejadian hari ini menjadi sebuah oase bagi kehidupan saya yang nilai filosofisnya mirip dengan rasa bangga yang dirasakan oleh seorang guru ketika melihat muridnya “naik kelas”. Naik kelas disini bukan dalam artian naik kelas dari kelas 5 SD menjadi kelas 6 SD, bukan. Melainkan naiknya kelas kita dalam kehidupan.

Ceritanya dimulai ketika hari ini saya memiliki niat untuk melakukan survey dari tentang PEMILU 2014. Bahan pertanyaan untuk survey saya dapat dari email saya yangmana saya dikirimi oleh aku Relawan Turun Tangan. Karena mumpung saya masih libur dan saya tidak memiliki kegiatan yang produktif, saya memutuskan untuk mengambil inisiatif untuk Turun Tangan ikut dalam kegiatan survey ini. Pengambilan survey ini saya lakukan di Ponorogo, kita dimana saya berlibur sekarang. Saya pun meminta bantuan kepada sahabat saya untuk menemani saya melakukan survey disekolah saya, sekalian bersilaturahmi dengan guru dan teman teman YESC (Youth English Study Club) dan rekan FFi. Dan Hafis (sahabat yang menemani saya) ini bersedia. Deal. Besok pagi kita berangkat ke SMA 1 Ponorogo.

Target survey saya kali ini adalah warga sekolah di SMA saya dan beberapa mahasiswa yang ada dikampus diseberangnya. Warga sekolahnya tidak lain adalah para guru dan murid kelas 3 yang sudah memiliki hak pilih. Lalu saya juga sempat mengambil data survey dari seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Alasan saya mengambil tempat dialmamater saya adalah karena saya sudah cukup mengetahui lingkungan sekolah saya. Namun, bagaimana tentang pengetahuan mereka seputar PEMILU ini, saya belum tahu sama sekali.

 Saya berteori, jika di kalangan warga SMA 1 saja kurang mengetahui seputar pemilu, maka bisa diambil kesimpulan bahwa warga yang lain juga mengalami hal yang sama.

Bukannya saya mau menyombongkan kalangan almamater sekolah saya, disisi lain saya ini masih tergolong sangat baru dan amatiran dalam hal survey, maka dari pada saya tidak membawa data sama sekali, apa salahnya jika saya mengambil sampel dari sini. Karena saya menjadikan lingkungan almamater saya ini patokan tentang bidang kewawasanya. Dan atas dasar ini saya memutuskan.

Sesampai disana, kebetulan ada kakak kelas dan teman sejawat saya yang sedang menjalankan bisnis es krimnya dan menjajakannya dikoperasi sekolah. Saya memulai survey dengan mereka terlebih dahulu beserta Hafis ini yang juga saya mintai pendapatnya tentang PEMILU.

Setelah selesai dengan mereka, saya ingin mewawancarai dari Ibu Kantin dialmamater saya tersebut, namun sangat disayangkan beliau enggan dengan alasan “halah, aku ki ora jowo ngono kuwi. Wes golek sing liyane ae, timbang aku nggo njawab kleru malah repot”( halah, saya ini tidak mengerti tentang hal itu. Sudah, cari yang lain saja, daripada saya jawabnya keliru), saya pun hanya terkekeh mendengar jawaban beliau dengan nada bicaranya yang cukup galak. Tapi, beliau ini baik kok orangnya. Jujur.

Karena beliau menolak, saya pun memaklumi, ternyata memang benar ada golongan masyarakat yang *maaf* menengah kebawah dan sepertinya tidak mengetahui sama sekali dan bahkan enggan untuk bersentuhan dengan PEMILU. Bisa juga saya ambil kesimpulan bahwa kalangan ini masih belum tahu, untuk apakah guna survey itu sesungguhnya. Survey bukan soal “benar” maupun “salah”, survey itu untuk mencari fakta, bukti, dan keadaan dilapangan yang real. Bukan serba manipulasi, yaa seperti sekarang ini.

Akhirnya setelah cukup lama, saya pun bisa mendapatkan 3 narasumber, guru saya, yang bersedia mengisi dan menjawab soal survey yang saya berikan. Bahkan kami sempat berdiskusi dan berbincang tentang PEMILU sejenak. Setelah selesai dengan para guru, kami (saya dan Hafis) mencari para siswa kelas 3 yang sudah memiliki hak suara. Jam menunjukkan pukul 11.38, dan data yang saya himpun sudah cukup.

Saya pun memutuskan untuk berbincang sebentar dengan warga sekolah lain sembari menunggu Adzan Dzuhur. Begitu adzan, saya pun bergegas menuju masjid Univ. Muhammadiyah yang ada didepan sekolah saya.

Dan hal yang sangat tidak pernah saya duga, terjadi.

Ada seorang perempuan manis yang memanggil saya dari belakang ketika saya akan memasuki area untuk berwudhu. Saya sungguh lupa dan bahkan tidak tahu siapa dia. Ketika saya mencoba mengingat ingat, dia pun nyeletuk kalau dari SMPN 1 Sawoo. Pikiran saya pun langsung berlari pada ingatan saya ketika memberikan motivasi di SMPN 1 Sawoo tersebut, agar lebih percaya dan bersemangat untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi, yaitu Sekolah Menengah Atas. Dan seketika itu juga, saya mengerti betul bagaimana bahagia dan bangganya perasaan seorang guru yang melihat muridnya, “naik kelas”.

Tidak bisa dipungkiri memang, didaerah Ponorogo yang bagiannya masih desa dan cukup jauh dari kota, pendidikan tidaklah terlalu dianggap penting. Banyak sekali dari siswa siswa SMP yang putus sekolah dan memilih untuk bekerja orang tuanya untuk sekedar mempertahankan asap dapurnya tetap mengepul. Mirisnya, keputusan untuk bekerja itu bukan dari diri mereka sendiri, melainkan bujukan orang tua dan paksaan dari keadaan. Dan jika ditanya pada hatinya yang jujur, mereka masih memilih untuk sekolah.

Dan disini, saat ini. Saya melihat seorang perempuan yang saat itu hadir ketika saya berbicara tentang pentingnya melanjutkan sekolah, nikmatnya belajar, dan manfaat dari ikut kegiatan dalam organisasi. Saat ini, saya melihat perempuan yang telah menggapai segenggam mimpi yang berusaha saya dan teman teman FFI tularkan. Saya tidak peduli dimana dia sekolah sekarang karena saya terlalu menghargai keinginannya untuk terus belajar. Sedetik itu juga, saya mengagumi perempuan lugu yang dulu malu malu jika ditanya, dan sekarang berubah menjadi gadis yang sama lugunya, namun cara bicaranya dan pandangannya tentang masa depan dipenuhi harapan yang mentenagainya.

Sepersekian detik itu juga, saya bangga pernah menjadi seteguk air yang membasahi dahaga akan panutan.

Mungkin saya sok ke GR an, mungkin benar adanya.

Tapi dari sini saya yakin, apa yang saya lakukan dari ketika masih sama lugunya dengan perempuan itu tadi, hingga saat ini. Dengan apa yang saya percayai …

Tidak sia sia.

Saya berdoa,

Semoga setiap jiwa mungil nan lucu, yang ingin sekali bersekolah seperti yang kami, kakak kakaknya pernah rasakan. Baginya, Tuhan lebih bersedia mendekatkan “telinga”Nya untuk mendengarkan doa doa yang sama lugunya dengan dirinya.

Dan dengan itu, dengan tersenyum haru, Tuhan mengabulkan doanya.

Untuk bersekolah lebih tinggi.

Amiinn :’)

Leave a Reply