Saya
bangga menjadi bagian dari Forum for Indonesia Chapter Ponorogo dan saya bangga
pernah mengambil peran menjadi seorang motivator disana.
Hari
ini saya belajar, kebanggaan itu sendiri tidak harus selalu dengan segala
sesuatu yang besar, mewah, dan meriah. Tidak. Kejadian hari ini menjadi sebuah
oase bagi kehidupan saya yang nilai filosofisnya mirip dengan rasa bangga yang
dirasakan oleh seorang guru ketika melihat muridnya “naik kelas”. Naik kelas
disini bukan dalam artian naik kelas dari kelas 5 SD menjadi kelas 6 SD, bukan.
Melainkan naiknya kelas kita dalam kehidupan.
Ceritanya
dimulai ketika hari ini saya memiliki niat untuk melakukan survey dari tentang
PEMILU 2014. Bahan pertanyaan untuk survey saya dapat dari email saya yangmana
saya dikirimi oleh aku Relawan Turun Tangan. Karena mumpung saya masih libur
dan saya tidak memiliki kegiatan yang produktif, saya memutuskan untuk
mengambil inisiatif untuk Turun Tangan ikut dalam kegiatan survey ini.
Pengambilan survey ini saya lakukan di Ponorogo, kita dimana saya berlibur
sekarang. Saya pun meminta bantuan kepada sahabat saya untuk menemani saya
melakukan survey disekolah saya, sekalian bersilaturahmi dengan guru dan teman
teman YESC (Youth English Study Club) dan rekan FFi. Dan Hafis (sahabat yang
menemani saya) ini bersedia. Deal.
Besok pagi kita berangkat ke SMA 1 Ponorogo.
Target
survey saya kali ini adalah warga sekolah di SMA saya dan beberapa mahasiswa
yang ada dikampus diseberangnya. Warga sekolahnya tidak lain adalah para guru
dan murid kelas 3 yang sudah memiliki hak pilih. Lalu saya juga sempat
mengambil data survey dari seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah
Ponorogo. Alasan saya mengambil tempat dialmamater saya adalah karena saya
sudah cukup mengetahui lingkungan sekolah saya. Namun, bagaimana tentang
pengetahuan mereka seputar PEMILU ini, saya belum tahu sama sekali.
Saya berteori, jika di kalangan warga SMA 1
saja kurang mengetahui seputar pemilu, maka bisa diambil kesimpulan bahwa warga
yang lain juga mengalami hal yang sama.
Bukannya
saya mau menyombongkan kalangan almamater sekolah saya, disisi lain saya ini
masih tergolong sangat baru dan amatiran dalam hal survey, maka dari pada saya
tidak membawa data sama sekali, apa salahnya jika saya mengambil sampel dari
sini. Karena saya menjadikan lingkungan almamater saya ini patokan tentang
bidang kewawasanya. Dan atas dasar ini saya memutuskan.
Sesampai
disana, kebetulan ada kakak kelas dan teman sejawat saya yang sedang
menjalankan bisnis es krimnya dan menjajakannya dikoperasi sekolah. Saya
memulai survey dengan mereka terlebih dahulu beserta Hafis ini yang juga saya
mintai pendapatnya tentang PEMILU.
Setelah
selesai dengan mereka, saya ingin mewawancarai dari Ibu Kantin dialmamater saya
tersebut, namun sangat disayangkan beliau enggan dengan alasan “halah, aku ki ora jowo ngono kuwi. Wes golek
sing liyane ae, timbang aku nggo njawab kleru malah repot”( halah, saya ini
tidak mengerti tentang hal itu. Sudah, cari yang lain saja, daripada saya
jawabnya keliru), saya pun hanya terkekeh mendengar jawaban beliau dengan nada
bicaranya yang cukup galak. Tapi, beliau ini baik kok orangnya. Jujur.
Karena
beliau menolak, saya pun memaklumi, ternyata memang benar ada golongan
masyarakat yang *maaf* menengah kebawah dan sepertinya tidak mengetahui sama
sekali dan bahkan enggan untuk bersentuhan dengan PEMILU. Bisa juga saya ambil
kesimpulan bahwa kalangan ini masih belum tahu, untuk apakah guna survey itu sesungguhnya.
Survey bukan soal “benar” maupun “salah”, survey itu untuk mencari fakta,
bukti, dan keadaan dilapangan yang real. Bukan serba manipulasi, yaa seperti
sekarang ini.
Akhirnya
setelah cukup lama, saya pun bisa mendapatkan 3 narasumber, guru saya, yang bersedia
mengisi dan menjawab soal survey yang saya berikan. Bahkan kami sempat
berdiskusi dan berbincang tentang PEMILU sejenak. Setelah selesai dengan para
guru, kami (saya dan Hafis) mencari para siswa kelas 3 yang sudah memiliki hak
suara. Jam menunjukkan pukul 11.38, dan data yang saya himpun sudah cukup.
Saya
pun memutuskan untuk berbincang sebentar dengan warga sekolah lain sembari
menunggu Adzan Dzuhur. Begitu adzan, saya pun bergegas menuju masjid Univ.
Muhammadiyah yang ada didepan sekolah saya.
Dan
hal yang sangat tidak pernah saya duga, terjadi.
Ada seorang
perempuan manis yang memanggil saya dari belakang ketika saya akan memasuki
area untuk berwudhu. Saya sungguh lupa dan bahkan tidak tahu siapa dia. Ketika
saya mencoba mengingat ingat, dia pun nyeletuk
kalau dari SMPN 1 Sawoo. Pikiran saya pun langsung berlari pada ingatan saya
ketika memberikan motivasi di SMPN 1 Sawoo tersebut, agar lebih percaya dan
bersemangat untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi, yaitu
Sekolah Menengah Atas. Dan seketika itu juga, saya mengerti betul bagaimana
bahagia dan bangganya perasaan seorang guru yang melihat muridnya, “naik kelas”.
Tidak
bisa dipungkiri memang, didaerah Ponorogo yang bagiannya masih desa dan cukup
jauh dari kota, pendidikan tidaklah terlalu dianggap penting. Banyak sekali
dari siswa siswa SMP yang putus sekolah dan memilih untuk bekerja orang tuanya
untuk sekedar mempertahankan asap dapurnya tetap mengepul. Mirisnya, keputusan
untuk bekerja itu bukan dari diri mereka sendiri, melainkan bujukan orang tua
dan paksaan dari keadaan. Dan jika ditanya pada hatinya yang jujur, mereka
masih memilih untuk sekolah.
Dan
disini, saat ini. Saya melihat seorang perempuan yang saat itu hadir ketika
saya berbicara tentang pentingnya melanjutkan sekolah, nikmatnya belajar, dan
manfaat dari ikut kegiatan dalam organisasi. Saat ini, saya melihat perempuan
yang telah menggapai segenggam mimpi yang berusaha saya dan teman teman FFI
tularkan. Saya tidak peduli dimana dia sekolah sekarang karena saya terlalu
menghargai keinginannya untuk terus belajar. Sedetik itu juga, saya mengagumi
perempuan lugu yang dulu malu malu jika ditanya, dan sekarang berubah menjadi
gadis yang sama lugunya, namun cara bicaranya dan pandangannya tentang masa
depan dipenuhi harapan yang mentenagainya.
Sepersekian
detik itu juga, saya bangga pernah menjadi seteguk air yang membasahi dahaga
akan panutan.
Mungkin
saya sok ke GR an, mungkin benar
adanya.
Tapi
dari sini saya yakin, apa yang saya lakukan dari ketika masih sama lugunya
dengan perempuan itu tadi, hingga saat ini. Dengan apa yang saya percayai …
Tidak
sia sia.
Saya
berdoa,
Semoga
setiap jiwa mungil nan lucu, yang ingin sekali bersekolah seperti yang kami,
kakak kakaknya pernah rasakan. Baginya, Tuhan lebih bersedia mendekatkan “telinga”Nya
untuk mendengarkan doa doa yang sama lugunya dengan dirinya.
Dan
dengan itu, dengan tersenyum haru, Tuhan mengabulkan doanya.
Untuk
bersekolah lebih tinggi.
Amiinn
:’)
