Jumat,
13 Juni 2014.
Aku
baru tau bahwa hari itu bertanggal 13 yang menjadi angka kesukaanku. Mitos
bilang ia adalah angka pembawa kesialan. Aku berbeda. Aku akan membuatnya
memihak kepadaku dan alam semesta pun berkonspirasi membantu dibelakangku.
Mata
kuliah pagi itu adalah Sosiologi Hukum. Aku merasa hidup, unggul. Tidak ada hal
didunia ini yang lebih menarik untuk dipelajari melainkan manusia itu sendiri.
Kuliah ini mempelajari akan hukum dengan keadaan sosial (sosiologi) manusianya.
Kuliah ini percaya bahwa, hukum ini adalah datang dan hidup dari masyarakat itu
sendiri. Hukum itu bukan “tempelan” yang bisa dilekatkan seenak saja kepada
masyarakat.
Sebisa
mungkin, hukum itu mewadahi apa kebutuhan manusia. Hukum bukanlah hal yang
benar untuk mengendalikan manusia secara utuh. Bukan. Ia adalah kontrak sosial
yang lentur yang harus menyesuaikan dengan masyarakat. Analoginya adalah: gelas
adalah hukumnya, air adalah masyarakatnya. Jika gelas itu tidak mampu menampung
air, maka gelas itulah yang seharusnya diganti, bukan malah membuang airnya. Got it?
Pagi
itu kami membahas tentang Mahzab hukum: Aliran Sociological Yurispudence. Aliran/ Mahzab kukuh pada pendapatnya
yaitu hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup
di masyarakat. ( Hukum posotif adalah hukum tertulis yang berlaku).
Bumbu
pembahasan materi pun mampir kepada budaya masyarakat dalam menyelesaikan
masalah. Pertama adalah budaya carok
di Madura. Ini adalah salah satu cara masyarakat Madura dalam menyelesaikan
masalah dengan berkelahi menggunakan arit hingga salah satunya terbunuh. Iya,
begitu ceritanya. Dan karena pihak satu tidak terima karena keluarganya dibunuh
dengan cara carok maka pihak korban
akan menantang carok kembali. Terus
begitu. Tidak masuk akal?
“Bagaimana bisa masalah terselesaikan
dengan cara seperti ini?”, pikirku.
Karena
yang aku tangkap, itu semua adalah balas dendam.
Alasan
adanya carok terjadi adalah karena
masyarakat Madura yang dikenal memiliki harga diri yang tinggi dan tidak ingin
dijatuhkan martabatnya. Dan untuk membelanya, maka diselesaikan dengan cara
seperti itu tadi.
Dalam
hukum positf Indonesia saat ini, apabila kita membunuh maka akan mendapatkan
ganjaran antara lain kurungan/penjara, denda, dan hukuman mati. Untuk kasus carok, sang pelaku yang mau dihukum
seumur hidup pun, korban merasa “masalah ini belum usai”. Salah satu pihak bisa
jadi terus mengejar pelaku itu.
Tapi
untuk saat, entah apakah praktek carok itu
masih ada atau tidak.
Muncul
pertanyaan,
Apabila
hal ini benar terjadi dan terus terjadi, apa mungkin masalah akan benar benar
selesai? Padahal seharusnya hukum itu ada untuk menyelesaikan masalah bukan?
Penasaran
benar benar membuat nalar ini gatal.
“
Jika memang benar keadaan di Indonesia dengan keaneka ragaman hukum adat
didalamnya. Manakah jalan yang seharusnya kita pilih? Apakah kita berusaha
mengakomodir secara mutlak semua hukum hukum adat yang ada di Indonesia dan
berusaha menerapkannya secara parsial terhadap wilayah dengan hukum adat yang
berlaku? Ataukah kita berusaha “membawa” masyarakat adat tersebut untuk
menerima dan menyesuaikan persepsi bahwa hukum positif yang diatur ini adalah
hukum yang lebih baik daripada hukum adat itu?
Pemikiran
bahwa hukum carok tidak masuk akal adalah karena pemikiran kita
bermain pada wilayah hukum positif yang melihat hukum carok adalah sesuatu yang aneh. Padahal disisi yang lain,
masyarakat yang menerapkan hukum carok,
melihat kita yang berpikir dengan pola nalar hukum positif melihat kita sebagai
jalan pemikiran yang aneh pula.”
“Pertanyaan
yang cukup sulit”, ucap beliau, Eko Riyadi, Dosen Sosiologi Hukum yang menjadi
kawan berfikirku kala itu.
Beliau
menerangkan bahwa, cara berfikir yang aku lakukan barusan adalah cara berpikir
sosiologi hukum. Mencari keadilan,
mencari keidealan. Lain jika harus
berdebat dengan orang pidana. Penekanannya adalah pada Kepastian hukum.
Akan
sulit jika mengakomodir seluruh hukum adat dalam hukum positif karena perlu
dilakukan studi yang tidak sebentar keseluruh penjuru Indonesia dan saking begitu banyaknya hukum adat yang
harus diakomodir. Akan susah juga jika kita harus “membawa” masyarakat yang
mungkin jauh dari modern dan masih memegang keleluhuran untuk menerima hukum
positif.
Hingga,
beliau sampai pada pemikiran beliau, yang sejatinya beliaupun masih harus
mengkajinya lagi, bahwa,
Indonesia ini kurang cocok dengan
sistem hukum
Continental (civil law). Indonesia lebih cocok dengan hukum common law.
Pendapat
beliau ini masih berhenti pada pendapat saja, belum dengan penelitian yang
mampu menguatkan tentang pendapatnya. Jadi, pendapat beliau ini tidak mampu
dijadikan doktrin. (dalam hukum Doktrin berarti pendapat pendapat sarjana hukum
yang dapat dijadikan sumber hukum).
Tapi,
dalam pendapat beliau, aku setuju.
Hukum
kita tidak lentur dalam menghadapi problema Indonesia yang “unik” ini. Kuncinya
bukan pada hukum positif tertulisnya, namun pada kemampuan hakimnya untuk
menggali nilai nilai yang berkembang dimasyarakat, dan mengkonkritkannya dalam
bentuk hukum.
Yah,
untuk sementara, inilah pendapatku. Pendapat kami.
