Sunday, June 15

Civil Law or Common Law

0 comments
Jumat, 13 Juni 2014.

Aku baru tau bahwa hari itu bertanggal 13 yang menjadi angka kesukaanku. Mitos bilang ia adalah angka pembawa kesialan. Aku berbeda. Aku akan membuatnya memihak kepadaku dan alam semesta pun berkonspirasi membantu dibelakangku.

Mata kuliah pagi itu adalah Sosiologi Hukum. Aku merasa hidup, unggul. Tidak ada hal didunia ini yang lebih menarik untuk dipelajari melainkan manusia itu sendiri. Kuliah ini mempelajari akan hukum dengan keadaan sosial (sosiologi) manusianya. Kuliah ini percaya bahwa, hukum ini adalah datang dan hidup dari masyarakat itu sendiri. Hukum itu bukan “tempelan” yang bisa dilekatkan seenak saja kepada masyarakat.

Sebisa mungkin, hukum itu mewadahi apa kebutuhan manusia. Hukum bukanlah hal yang benar untuk mengendalikan manusia secara utuh. Bukan. Ia adalah kontrak sosial yang lentur yang harus menyesuaikan dengan masyarakat. Analoginya adalah: gelas adalah hukumnya, air adalah masyarakatnya. Jika gelas itu tidak mampu menampung air, maka gelas itulah yang seharusnya diganti, bukan malah membuang airnya. Got it?

Pagi itu kami membahas tentang Mahzab hukum: Aliran Sociological Yurispudence. Aliran/ Mahzab kukuh pada pendapatnya yaitu hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat. ( Hukum posotif adalah hukum tertulis yang berlaku).

Bumbu pembahasan materi pun mampir kepada budaya masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah budaya carok di Madura. Ini adalah salah satu cara masyarakat Madura dalam menyelesaikan masalah dengan berkelahi menggunakan arit hingga salah satunya terbunuh. Iya, begitu ceritanya. Dan karena pihak satu tidak terima karena keluarganya dibunuh dengan cara carok maka pihak korban akan menantang carok kembali. Terus begitu. Tidak masuk akal?

“Bagaimana bisa masalah terselesaikan dengan cara seperti ini?”, pikirku.

Karena yang aku tangkap, itu semua adalah balas dendam.

Alasan adanya carok terjadi adalah karena masyarakat Madura yang dikenal memiliki harga diri yang tinggi dan tidak ingin dijatuhkan martabatnya. Dan untuk membelanya, maka diselesaikan dengan cara seperti itu tadi.

Dalam hukum positf Indonesia saat ini, apabila kita membunuh maka akan mendapatkan ganjaran antara lain kurungan/penjara, denda, dan hukuman mati. Untuk kasus carok, sang pelaku yang mau dihukum seumur hidup pun, korban merasa “masalah ini belum usai”. Salah satu pihak bisa jadi terus mengejar pelaku itu.

Tapi untuk saat, entah apakah praktek carok itu masih ada atau tidak.

Muncul pertanyaan,

Apabila hal ini benar terjadi dan terus terjadi, apa mungkin masalah akan benar benar selesai? Padahal seharusnya hukum itu ada untuk menyelesaikan masalah bukan?

Penasaran benar benar membuat nalar ini gatal.

“ Jika memang benar keadaan di Indonesia dengan keaneka ragaman hukum adat didalamnya. Manakah jalan yang seharusnya kita pilih? Apakah kita berusaha mengakomodir secara mutlak semua hukum hukum adat yang ada di Indonesia dan berusaha menerapkannya secara parsial terhadap wilayah dengan hukum adat yang berlaku? Ataukah kita berusaha “membawa” masyarakat adat tersebut untuk menerima dan menyesuaikan persepsi bahwa hukum positif yang diatur ini adalah hukum yang lebih baik daripada hukum adat itu?

Pemikiran bahwa hukum carok  tidak masuk akal adalah karena pemikiran kita bermain pada wilayah hukum positif yang melihat hukum carok adalah sesuatu yang aneh. Padahal disisi yang lain, masyarakat yang menerapkan hukum carok, melihat kita yang berpikir dengan pola nalar hukum positif melihat kita sebagai jalan pemikiran yang aneh pula.”

“Pertanyaan yang cukup sulit”, ucap beliau, Eko Riyadi, Dosen Sosiologi Hukum yang menjadi kawan berfikirku kala itu.

Beliau menerangkan bahwa, cara berfikir yang aku lakukan barusan adalah cara berpikir sosiologi hukum. Mencari keadilan, mencari keidealan. Lain jika harus berdebat dengan orang pidana. Penekanannya adalah pada Kepastian hukum.

Akan sulit jika mengakomodir seluruh hukum adat dalam hukum positif karena perlu dilakukan studi yang tidak sebentar keseluruh penjuru Indonesia dan saking begitu banyaknya hukum adat yang harus diakomodir. Akan susah juga jika kita harus “membawa” masyarakat yang mungkin jauh dari modern dan masih memegang keleluhuran untuk menerima hukum positif.

Hingga, beliau sampai pada pemikiran beliau, yang sejatinya beliaupun masih harus mengkajinya lagi, bahwa,

Indonesia ini kurang cocok dengan sistem hukumHaasdadadasda Continental (civil law). Indonesia lebih cocok dengan hukum common law.

Pendapat beliau ini masih berhenti pada pendapat saja, belum dengan penelitian yang mampu menguatkan tentang pendapatnya. Jadi, pendapat beliau ini tidak mampu dijadikan doktrin. (dalam hukum Doktrin berarti pendapat pendapat sarjana hukum yang dapat dijadikan sumber hukum).

Tapi, dalam pendapat beliau, aku setuju.

Hukum kita tidak lentur dalam menghadapi problema Indonesia yang “unik” ini. Kuncinya bukan pada hukum positif tertulisnya, namun pada kemampuan hakimnya untuk menggali nilai nilai yang berkembang dimasyarakat, dan mengkonkritkannya dalam bentuk hukum.


Yah, untuk sementara, inilah pendapatku. Pendapat kami.

Leave a Reply