Hari ini
adalah hari terakhir aku berada di Ponorogo, Kota kelahiranku. Bahkan mungkin
kemarinlah seharusnya hari itu, tetapi karena flu yang menyerang tadi pagi, aku
menunda keberangkatan. Hikmahnya, Meepo (nama untuk motor MegaPro)ku aku service dan benar saja, rem belakangnya
sudah waktunya ganti. Untung.
Siang harinya
dengan menahan pusing, aku menemani Bunda untuk berbelanja, membawa sepatuku ke
tukang sol, dan ditraktir bakso. Setiap mili detiknya aku nikmati, mungkin
Bunda tahu, hari ini memanglah hari terakhirku ada satu kota bersamanya,
makanya, dia ingin menggunakannya untuk bersamaku dimomen terakhir ini.
Walaupun aku agak sakit, tetapi justru inilah yang menjadi obat. Segera,
kususun rencana untuk malam ini.
Hari ini
adalah Hari Ulang Tahun Kota Ponorogo yang ke 518, berlipat lipat kali lebih
tua dari pada umur Indonesia, apalagi dengan umurku. Tua. Namun, masih terlalu
muda untuk menuju Kota yang mendekati sempurna. Hari ini kian sempurna dengan
tepatnya Bulan Purnama. Dan ketika malam bulan purnama seperti ini, di Alon
Alon biasanya ada pertunjukan Tari REOG Ponorogo.
Malam pun
datang, aku pun bersiap.
Dari kejauhan,
desing itu begitu aku kenal, Putra pun datang dengan motor GL lawasnya
menghampiriku untuk berangkat bersama. Sahabatku satu ini berjaket lumayan
tebal, berbeda dengan malam sebelumnya ketika mengajakku ngopi di Teraz Café.
Iya, malam ini dingin begitu mengusik untuk menghangat dibalik jaket ataupun
selimut.
Putra pun
tahu, bukanlah melihat Reog yang menjadi incaran utamaku, bukan. Yang aku cari
adalah bertemu dengan “dia”. Ah~ Sungguh. Membayangkannya pun jantungku sudah
berdebar, bagaimana kalau benar benar ketemu?! Dalam bayangan, kupikir aku
bakal lari saja ketika momentum itu menghampiri.
Sejak Dhuhur pun
aku sudah berdoa. Berharap dalam simpuh tulus menghadap sang Kuasa.
Tuhan, ini adalah hari terakhir aku ada di sini. Jumpakanlah aku
dengannya. Oh, bukan, buatlah aku melihatnya tanpa ia mengetahui aku
melihatnya. Ijinkanlah aku melihatnya. Bukan berjumpa, cukup melihatnya saja.
Dari jauh. Kalau bukan hari ini, aku tak yakin akan datang lagi kesempatan ini
dalam waktu dekat. Wujudkan, Tuhan. Amiinn
Bukan untuk
bertemu, berjumpa, bukan. Aku hanya ingin melihatnya dari jauh.
Aku hanya
ingin tahu dan menyadari secara langsung bahwa dia ada dalam sekitarku.
Merasakan kehadirannya walaupun ia tidak merasakan hal yang sama. Bahkan aku
belum siap ketika dia merasakan hal yang sama.
Tidak dengan
Aku yang sekarang.
Janjiku pada
diriku sendiri, aku akan menemuinya dalam diriku yang lebih baik dari sekarang.
Kesempatanku
tidaklah kecil untuk berjumpa dengannya. Dia adalah seorang yang dibilang cukup
eksis. Dia pernah mengikuti ajang duta wisata untuk Ponorogo dan memiliki peran
penting didalamnya. Ada kemungkinan, untuk kegiatan seperti ini dia akan
datang.
Kesempatanku untuk
melihatnya, sebelum berangkatku.
Motor lanang itu diparkir didepan kantor pemerintahan
denga Alon Alon. Kami pun berjalan menuju panggung utama.
Untuk malam
pentas di Bulan Purnama seperti ini tidaklah menggunakan property yang macam
macam. Kursi pun hanya disediakan kepada para undangan. Dia, bila datang, akan
duduk disana, sebagai undangan. Namun beda cerita jika dia hanya ingin sebatas
menonton pertunjukan tanpa bersapa ria dengan orang penting. Bisa saja, dia
didepanku, dibelakangku, bahkan disampingku.
Bisa saja.
Jarak dari
panggung pun sekitar 5 meter lebih. Untuk para tamu undangan, dibuatkan pagar
yang mengelilingi tempat diduduk mereka berbentuk segi empat. Tidak banyak,
hanya sekitar 20-an kursi. Memang, acara ini bukanlah semewah acara Festival
lainnya. Festival Reog Mini ataupun Festival Reog Nasional. Jauh. Acara ini
adalah acara bulanan yang rutin diselenggarakan yang biasa bersamaan dengan
malam bulan purnama.
Aku berdiri
cukup dekat dengan pagar yang menjadikanku juga lebih dekat dengan panggung
utama. Diatas panggung pun terlihat anak anak kecil yang akan tampi beserta
dengan kru kru serta MC. Semuanya terlihat sibuk tanpa grusa grusu. Sepertinya semua terkendali dengan baik. Dikanan kiri
panggung pun sound system super besar
sudah terpasang. Menggaungkan suara MC untuk mengulur waktu dengan berbicara
basa basi sebelum masuk keacara inti. Penonton pun juga mulai memadat. Orang
tua para penari bergerumul dibelakang panggung bahkan menyesaki pinggiran
panggung.
Memang acara
yang tidak terlalu mewah, namun masyarakat yang memburu hiburan tidak pernah
sepi. Seakan tak pernah bosan. Sama halnya denganku.
Acara pun
dimulai. Bola pengiring acara pun berpindah kepada MC Acara. Perempuan dengan
baju hitam terusan sampai menutupi mata kaki dengan jilbap merah. Sepatu hak tinggi
pun tak ketinggalan tersemat. Putra mengenali perempuan itu. Perempuan itu
adalah perempuan yang bersanding dengannya ketika sama sama lolos dalam Final
Duta Wisata Kakang Senduk.
Aku pun
mangut mangut.
Ex-Finalis
Kakang Senduk itu pun membacakan daftar siapa sajakah yang akan tampil malam
ini meramaikan purnama. Ada 7 tarian yang dibawakan malam itu. 4 tari datang
dari Kecamatan Slahung, 1 dari SMA 1 Bungkal, dan sisanya aku lupa. Aku lupa
karena tidak begitu memperhatikan MC, tetapi menyapu pandangan diantara para
penonton.
Mencarinya.
Setiap mata
memandang mereka yang berjilbab, pandanganku berhenti, menganalisa. Melihat secara
seksama dari bentuk jilbab yang dikenakan dan warna pilihan. Mengamati, apakah
dia benar benar datang atau tidak.
Berharap, aku
bisa melihatnya untuk kali kedua.
Aku tersentak
ketika tengah serius mengamati dan mencari, sound
system itu mengagetkan dengan bunyi music tarian tari pertama.
Dipersembahkan oleh adik adik yang masih sangat kecil, tari yang mirip dengan
tari merak, aku lupa nama tepatnya. Sudah kubilang, aku terlalu serius
mencarinya.
Tarian kedua
malah lebih parah. Aku tidak ingat sama sekali namanya. Aku pun memantau apakah
dia sudah online ataukah belum. Mencari
barang bukti untuk memastikan bahwa dia akan datang. Ah, keyakinanku ini memang
terlalu. Terlalu memaksa.
Tarian yang
menyita perhatianku adalah yang kesekian. Penarinya perempuan, mengenakan
kostum serba merah, membawa panah. Nama tarian ini berawalan huruf G. Satu
penari ini begitu menyita perhatianku. Pakaiannya sedikit berbeda dengan teman
temannya satu tim penari. Bagian lengannya tidak tertutup. Entah sengaja atau
tidak.
Tarian ini
membuatku mengamati lebih jauh. Aku merasa ada yang kurang, ada yang hilang.
Oh, senyum. Senyum itu begitu kosong. Syukur syukur kalau masih berusaha
tersenyum, Hlah ini.. Endak. Ibarat makan rujak Madura, tiada terasa petis nan
kondang rasa “laut”nya. Twit-ku pun segera muncul dalam beranda kawan kawan.
Akhirnya “Gong”
dari acara inipun segera dimulai, Pertunjukan Reog.
Sesekali aku
melihat kearah rembulan yang begitu sempurna. Bulat, putih, besar, dan
bersinar. Begitu terang menerangi langit Ponorogo. Alunan sorak sorak para Senggak pun berlomba menjejal kedalam
kuping. Gagahnya Warok, Sigraknya Jathil, Lincahnya Bujang Ganong, hingga
akhirnya Wibawa sang Prabu Klono Sewandono, begitu menghibur mengalihkan perhatianku
mencarinya. Aku bukannya lupa, hanya terhanyut dalam romansa kisah dalam tari
itu. Tentang perjuangan merebut hati Dewi Songgolangit.
Mirip
miriplah dengan kisahku. Kisah perjuangan hati mendapatkan hati.
Jauh didalam
hati, sesingkat harapan aku percaya dia pasti akan muncul. Mengguratkan senyum
dibibir, mendebarkan jantung, dan memahat bahagia dalam hati.
Namun ….
Hingga Paneragan pun, tanda kehadiran darinya
tak menawarkan harapan untuk lebih kupercaya. Lagi, aku sisir kembali bangku
undangan. Memandang memutar melihat keseluruh penonton yang ada didepan,
dibelakang, dan disampingku.
Dia tidak
datang.
Putra pun
mengajakku untuk beranjak. Aku berdiri diam ditempatku, bergeming. Perlahan
berbalik arah menuju pulang. Aku berjalan dengan memandang hamparan manusia
yang beranjak pergi dengan siapapun yang menemaninya. Aku bersegera menuju
Putra.
Aku berhenti.
Berbalik arah untuk kesekian menghadap panggung utama. Mendongak melihat
tulisan bercahaya dalam bahasa Jawa yang mencerminkan semangat orang Ponorogo.
Melihat kembali kepanggung, kemudian tertunduk.
Sejenak, aku
menikmati kekecewaan. Bukan kepada siapapun, selain kepada diri sendiri.
Kenapa bisaaa aku sebegitu bodoh mempercayai hal yang aku tahu aku akan
kecewa dibuatnya?!
Sejenak, aku
ingin diam dan sendiri.
Sejenak
kemudian, aku mengangkat kepala dan kembali berjalan pulang.
Aku, telah
menerima kekecewaan hari ini, dan memutuskan untuk berharap lagi. Kepada
dirinya.
Aku tahu, aku
akan dikecewakan dengan harapanku sendiri. Tetapi ….
Hal ini
pulalah yang membuatku hidup.
Tidak ada
alasan lain.
Aku yakin akan
ada saat yang tepat untuk segala hal yang tepat.
Hingga
akhirnya, aku pulang dengan senyum tulus akan keikhlasan dengan kekuatan untuk ….
Bertahan.
