Monday, August 11

Hingga "Paneragan" Usai

0 comments
Hari ini adalah hari terakhir aku berada di Ponorogo, Kota kelahiranku. Bahkan mungkin kemarinlah seharusnya hari itu, tetapi karena flu yang menyerang tadi pagi, aku menunda keberangkatan. Hikmahnya, Meepo (nama untuk motor MegaPro)ku aku service dan benar saja, rem belakangnya sudah waktunya ganti. Untung.

Siang harinya dengan menahan pusing, aku menemani Bunda untuk berbelanja, membawa sepatuku ke tukang sol, dan ditraktir bakso. Setiap mili detiknya aku nikmati, mungkin Bunda tahu, hari ini memanglah hari terakhirku ada satu kota bersamanya, makanya, dia ingin menggunakannya untuk bersamaku dimomen terakhir ini. Walaupun aku agak sakit, tetapi justru inilah yang menjadi obat. Segera, kususun rencana untuk malam ini.

Hari ini adalah Hari Ulang Tahun Kota Ponorogo yang ke 518, berlipat lipat kali lebih tua dari pada umur Indonesia, apalagi dengan umurku. Tua. Namun, masih terlalu muda untuk menuju Kota yang mendekati sempurna. Hari ini kian sempurna dengan tepatnya Bulan Purnama. Dan ketika malam bulan purnama seperti ini, di Alon Alon biasanya ada pertunjukan Tari REOG Ponorogo.

Malam pun datang, aku pun bersiap.

Dari kejauhan, desing itu begitu aku kenal, Putra pun datang dengan motor GL lawasnya menghampiriku untuk berangkat bersama. Sahabatku satu ini berjaket lumayan tebal, berbeda dengan malam sebelumnya ketika mengajakku ngopi di Teraz Café. Iya, malam ini dingin begitu mengusik untuk menghangat dibalik jaket ataupun selimut.

Putra pun tahu, bukanlah melihat Reog yang menjadi incaran utamaku, bukan. Yang aku cari adalah bertemu dengan “dia”. Ah~ Sungguh. Membayangkannya pun jantungku sudah berdebar, bagaimana kalau benar benar ketemu?! Dalam bayangan, kupikir aku bakal lari saja ketika momentum itu menghampiri.

Sejak Dhuhur pun aku sudah berdoa. Berharap dalam simpuh tulus menghadap sang Kuasa.

Tuhan, ini adalah hari terakhir aku ada di sini. Jumpakanlah aku dengannya. Oh, bukan, buatlah aku melihatnya tanpa ia mengetahui aku melihatnya. Ijinkanlah aku melihatnya. Bukan berjumpa, cukup melihatnya saja. Dari jauh. Kalau bukan hari ini, aku tak yakin akan datang lagi kesempatan ini dalam waktu dekat. Wujudkan, Tuhan. Amiinn

Bukan untuk bertemu, berjumpa, bukan. Aku hanya ingin melihatnya dari jauh.

Aku hanya ingin tahu dan menyadari secara langsung bahwa dia ada dalam sekitarku. Merasakan kehadirannya walaupun ia tidak merasakan hal yang sama. Bahkan aku belum siap ketika dia merasakan hal yang sama.

Tidak dengan Aku yang sekarang.

Janjiku pada diriku sendiri, aku akan menemuinya dalam diriku yang lebih baik dari sekarang.

Kesempatanku tidaklah kecil untuk berjumpa dengannya. Dia adalah seorang yang dibilang cukup eksis. Dia pernah mengikuti ajang duta wisata untuk Ponorogo dan memiliki peran penting didalamnya. Ada kemungkinan, untuk kegiatan seperti ini dia akan datang.

Kesempatanku untuk melihatnya, sebelum berangkatku.

Motor lanang itu diparkir didepan kantor pemerintahan denga Alon Alon. Kami pun berjalan menuju panggung utama.

Untuk malam pentas di Bulan Purnama seperti ini tidaklah menggunakan property yang macam macam. Kursi pun hanya disediakan kepada para undangan. Dia, bila datang, akan duduk disana, sebagai undangan. Namun beda cerita jika dia hanya ingin sebatas menonton pertunjukan tanpa bersapa ria dengan orang penting. Bisa saja, dia didepanku, dibelakangku, bahkan disampingku.

Bisa saja.

Jarak dari panggung pun sekitar 5 meter lebih. Untuk para tamu undangan, dibuatkan pagar yang mengelilingi tempat diduduk mereka berbentuk segi empat. Tidak banyak, hanya sekitar 20-an kursi. Memang, acara ini bukanlah semewah acara Festival lainnya. Festival Reog Mini ataupun Festival Reog Nasional. Jauh. Acara ini adalah acara bulanan yang rutin diselenggarakan yang biasa bersamaan dengan malam bulan purnama.

Aku berdiri cukup dekat dengan pagar yang menjadikanku juga lebih dekat dengan panggung utama. Diatas panggung pun terlihat anak anak kecil yang akan tampi beserta dengan kru kru serta MC. Semuanya terlihat sibuk tanpa grusa grusu. Sepertinya semua terkendali dengan baik. Dikanan kiri panggung pun sound system super besar sudah terpasang. Menggaungkan suara MC untuk mengulur waktu dengan berbicara basa basi sebelum masuk keacara inti. Penonton pun juga mulai memadat. Orang tua para penari bergerumul dibelakang panggung bahkan menyesaki pinggiran panggung.

Memang acara yang tidak terlalu mewah, namun masyarakat yang memburu hiburan tidak pernah sepi. Seakan tak pernah bosan. Sama halnya denganku.

Acara pun dimulai. Bola pengiring acara pun berpindah kepada MC Acara. Perempuan dengan baju hitam terusan sampai menutupi mata kaki dengan jilbap merah. Sepatu hak tinggi pun tak ketinggalan tersemat. Putra mengenali perempuan itu. Perempuan itu adalah perempuan yang bersanding dengannya ketika sama sama lolos dalam Final Duta Wisata Kakang Senduk.

Aku pun mangut mangut.

Ex-Finalis Kakang Senduk itu pun membacakan daftar siapa sajakah yang akan tampil malam ini meramaikan purnama. Ada 7 tarian yang dibawakan malam itu. 4 tari datang dari Kecamatan Slahung, 1 dari SMA 1 Bungkal, dan sisanya aku lupa. Aku lupa karena tidak begitu memperhatikan MC, tetapi menyapu pandangan diantara para penonton.

Mencarinya.

Setiap mata memandang mereka yang berjilbab, pandanganku berhenti, menganalisa. Melihat secara seksama dari bentuk jilbab yang dikenakan dan warna pilihan. Mengamati, apakah dia benar benar datang atau tidak.

Berharap, aku bisa melihatnya untuk kali kedua.

Aku tersentak ketika tengah serius mengamati dan mencari, sound system itu mengagetkan dengan bunyi music tarian tari pertama. Dipersembahkan oleh adik adik yang masih sangat kecil, tari yang mirip dengan tari merak, aku lupa nama tepatnya. Sudah kubilang, aku terlalu serius mencarinya.

Tarian kedua malah lebih parah. Aku tidak ingat sama sekali namanya. Aku pun memantau apakah dia sudah online ataukah belum. Mencari barang bukti untuk memastikan bahwa dia akan datang. Ah, keyakinanku ini memang terlalu. Terlalu memaksa.

Tarian yang menyita perhatianku adalah yang kesekian. Penarinya perempuan, mengenakan kostum serba merah, membawa panah. Nama tarian ini berawalan huruf G. Satu penari ini begitu menyita perhatianku. Pakaiannya sedikit berbeda dengan teman temannya satu tim penari. Bagian lengannya tidak tertutup. Entah sengaja atau tidak.

Tarian ini membuatku mengamati lebih jauh. Aku merasa ada yang kurang, ada yang hilang. Oh, senyum. Senyum itu begitu kosong. Syukur syukur kalau masih berusaha tersenyum, Hlah ini.. Endak. Ibarat makan rujak Madura, tiada terasa petis nan kondang rasa “laut”nya. Twit-ku pun segera muncul dalam beranda kawan kawan.

Akhirnya “Gong” dari acara inipun segera dimulai, Pertunjukan Reog.

Sesekali aku melihat kearah rembulan yang begitu sempurna. Bulat, putih, besar, dan bersinar. Begitu terang menerangi langit Ponorogo. Alunan sorak sorak para Senggak pun berlomba menjejal kedalam kuping. Gagahnya Warok, Sigraknya Jathil, Lincahnya Bujang Ganong, hingga akhirnya Wibawa sang Prabu Klono Sewandono, begitu menghibur mengalihkan perhatianku mencarinya. Aku bukannya lupa, hanya terhanyut dalam romansa kisah dalam tari itu. Tentang perjuangan merebut hati Dewi Songgolangit.

Mirip miriplah dengan kisahku. Kisah perjuangan hati mendapatkan hati.

Jauh didalam hati, sesingkat harapan aku percaya dia pasti akan muncul. Mengguratkan senyum dibibir, mendebarkan jantung, dan memahat bahagia dalam hati.

Namun ….

Hingga Paneragan pun, tanda kehadiran darinya tak menawarkan harapan untuk lebih kupercaya. Lagi, aku sisir kembali bangku undangan. Memandang memutar melihat keseluruh penonton yang ada didepan, dibelakang, dan disampingku.

Dia tidak datang.

Putra pun mengajakku untuk beranjak. Aku berdiri diam ditempatku, bergeming. Perlahan berbalik arah menuju pulang. Aku berjalan dengan memandang hamparan manusia yang beranjak pergi dengan siapapun yang menemaninya. Aku bersegera menuju Putra.

Aku berhenti. Berbalik arah untuk kesekian menghadap panggung utama. Mendongak melihat tulisan bercahaya dalam bahasa Jawa yang mencerminkan semangat orang Ponorogo. Melihat kembali kepanggung, kemudian tertunduk.

Sejenak, aku menikmati kekecewaan. Bukan kepada siapapun, selain kepada diri sendiri.

Kenapa bisaaa aku sebegitu bodoh mempercayai hal yang aku tahu aku akan kecewa dibuatnya?!

Sejenak, aku ingin diam dan sendiri.

Sejenak kemudian, aku mengangkat kepala dan kembali berjalan pulang.

Aku, telah menerima kekecewaan hari ini, dan memutuskan untuk berharap lagi. Kepada dirinya.

Aku tahu, aku akan dikecewakan dengan harapanku sendiri. Tetapi ….

Hal ini pulalah yang membuatku hidup.

Tidak ada alasan lain.

Aku yakin akan ada saat yang tepat untuk segala hal yang tepat.

Hingga akhirnya, aku pulang dengan senyum tulus akan keikhlasan dengan kekuatan untuk ….


Bertahan.

Leave a Reply