Mulanya, dari kebingungan aku
harus bilang seperti apa lagi untuk menasehati adikku. Bukan adik kandung
memang, tapi sudah aku anggap sebagai adik, sebagai teman, sebagai seorang
teman yang harus dikuatkan. Orang yang mengenalku secara dekat dan baik akan
tahu bahwa aku adalah sosok yang diterima sebagai orang yang dituju ketika
berbagi cerita. Apalagi cerita sedih, berkaitan cinta. Sering, aku dipanggil “Cah
Cinta”.
Tetapi aku bersyukur akan hal
itu.
Adikku ini mengalami masalah
yang klasik, namun susah untuk ditangani. Patah hati.
Entah ya, apakah semua orang
pernah merasakan sakit hati, patah hati, namun bagi mereka yang sudah memasuki
dunia dunia cinta, pasti tidak asing dengan perasaan ini. Konteks lebih
spesifiknya adalah patah hati karena pacaran. Klasik bukan?
Masalahnya adalah ketika
adikku ini lumayan sulit mengendalikan emosi ketika mengingat seseorang yang
dulu dia sayang. Atau mungkin tepatnya hingga saat ini. Namun, kenyataan
menghendaki agar mereka berpisah. Sang kekasih sudah mulai meninggalkan kisah
cinta lama itu sebagai sebuah pembelajaran, namun adikku ini masih menganggap
kisah itu adalah sebuah cita cita yang harus dikejar/dipenuhi. Sehingga ketika
dia melihat kenyataan, it feels that the
world is so damn cruel for her.
Faktanya, semua perasaan
negatif seperti itu, pasti akan membawa kepada perasaan “ketidakadilan” seperti
itu.
Karena adikku ini perempuan,
ada sisi dimana yang masih aku tidak bisa memahami.
Kenapa tidak berusaha kuat saja?
Sayangnya, memang tidak semua
orang sekuat itu. Dan bagiku, hal ini merupakan hal yang wajar. Aku
menganggapnya sebagai sebuah proses untuk tumbuh, proses untuk menguat.
Hal yang masih aku bingung
adalah : gimana sih pemikiran mereka yang sudah mampu sesegera mungkin “move on” dan “move up” terhadap kasus patah hati? Dan gimana aku harus
mengungkapkannya kepadanya, agar dia mengerti?
Jikalau laki laki, yang brain oriented, mereka pasti akan
berusaha untuk menerima, mengiyakan tanpa menutup diri dari saran yang mungkin
agak lumayan bertentangan dengan pemikirannya tapi sesungguhnya masuk akal.
Perempuan, lumayan susah untuk
memahami hal itu. Karena perempuan itu rasanya feeling oriented. Dan disaat yang sama, laki laki tidak memahami
hal ini.
Jadilah aku harus bertanya
pada mereka yang sudah “Ahli”. Siapa?
Dia adalah “Alumni”ku dulu dan
sekarang menjadi teman baikku #ciegetoh
Walaupun bukan lagi bersama
sebagai pasangan, tetapi kami masih berhubungan cukup baik. Sesekali aku “mengganggunya”
dengan chat yang sebenarnya gak
penting dalam sela sela kesibukannya. Tapi karna aku tahu dia sedang liburan,
aku fikir bisa jadi topik pembicaraan yang lumayan. Lumayan gak penting.
Sebelum kepertanyaan utama,
pasti bahasannya ngalor ngidul dulu. Pencairan
suasana gitu. Hingga dirasa sudah pas, baru pertanyaan itu keluar.
Block LINE-nya. Salah satu
yang menjadi “ciri khas” daripada nasehatnya, yang sudah pasti muncul karena
tindakan dari pengalaman yang dia alami sendiri. Dia bilang juga kalau, aku
sebagai teman dari adikku ini harus sebisa mungkin mengajaknya untuk
berkegiatan agar kemudian tidak ada waktunya bagi adikku ini memikirkannya “alumni”nya
ini. Point-nya adalah : mencari kesibukan.
Faktanya memang tidak semua
orang bisa mampu berdamai dengan cara “secara baik baik”. Ada orang yang memang
harus “terpaksa” menghapus semuanya
terlebih dahulu, melupakan, kemudian membangun kembali kepercayaan terhadap
orang yang dulu dipercayai tersebut. Hapus LINE-nya, kontaknya, barang barang
yang dia kasih, fotonya, semuanya. Karena kuncinya adalah LUPA.
Namun ada juga cara yang lebih
membutuhkan “kekuatan”. Yaitu menerima segalanya secara utuh, menerima realita.
Ikhlas. Hal ini yang paling sulit. Tidak harus dengan melakukan “penghapusan
akan hal yang mengingatkan padanya”, tetapi dengan cara memberikan ruang kepada
diri sendiri bahwa kenyataan yang ada ini merupakan sesuatu yang harus terjadi,
pasti terjadi, akan terjadi, dan yang terpenting : akan terlewati. Bukan
kemudian mempermasalahkan masalah, namun berusaha mencari apa yang kemudian ada
dibalik masalah itu. Bisa itu berupa pengalaman, pembelajaran agar tidak
terjebak pada hubungan yang sama, mempelajari karakter seseorang yang sesuai
dan tidak sesuai, dan sebagainya. Bahasa sederhanya adalah mengambil hikmah.
Tetapi, yang kemudian dimaksud
dengan mengambil hikmah ini sangat berbeda arti dengan melemahkan diri.
Mengambil hikmah adalah proses
menerima pembelajaran dari hal yang menyakitkan tersebut untuk kemudian
digunakan dalam hubungan lain yang lebih baik.
Melemahkan diri adalah bentuk “mengasihani
diri” dan memposisikan diri sebagai korban, yang kemudian menuntut orang lain
agar memperbaiki sikapnya kepada kita, sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Bisa juga : kondisi dimana kita mulai menyalahkan segalanya atas rasa sakit,
ketidakadilan yang terjadi pada diri dikarenakan realita yang ada berbeda
dengan apa yang diharapkan.
Akan lebih mudah, apabila
menganggap didunia ini tidak ada yang namanya baik dan buruk.
Anggap saja semua ini adalah
sebuah realita. Realita tanda justifikasi baik dan buruk.
Realita yang terjadi dan
sering tidak bisa dikendalikan semuanya seperti kehendak kita.
Jadi, ketika tidak ada baik
dan buruk, yang ada hanya realita, maka dampaknya adalah pada kondisi saat kita
memberikan respon.
Kita tidak akan mudah senang
ketika realita itu sesuai dengan harapan kita dan tidak akan mudah sedih ketika
tidak sesuai dengan yang diekspektasikan.
***
Diatas tadi aku menyebutkan bahwa hubunganku dengan “alumni” ku ini
cukup baik. Ya, karena memang kami pernah mengalami keadaan yang tidak baik.
Sangat tidak baik.
Kalau bermusuhan, masih mendingan. Tetapi kalau bertindak seperti tidak
pernah kenal sebelumnya?
Aku fikir, kami sudah melewatinya.
Aku pun hanya sekali itu pacaran. Setelah putus pun, baru nembak sekali
tapi ditolak. Hingga kemudian saat ini, aku tidak bisa jatuh cinta lagi.
Jatuh cinta yang aku maksud ini, jatuh cinta yang membuatku bergerak “mengejar”.
Aku dan Dinda, mungkin berhenti dalam taraf naksir. Toh, dia sudah ada yang
punya.
Aku dan “alumni” ku ini berbeda.
Dia harus melewati fase menghapus
dulu. Dan aku, mencoba ikhlas, tapi konsekuensinya adalah jauh lebih lama untuk
“move up”.
Saat saat itu adalah saat saat tersulit, menurutku. Tapi untungnya ada
orang orang yang bersedia ada dan membantuku melewatinya.
Hingga akhirnya, beberapa bulan ini hubunganku dan dia mulai membaik.
Seperti yang pernah aku ceritakan, kita ini berangkat dari sahabat, jadi,
ketika bukan lagi kekasih, setidaknya aku ingin tetap menjadi sahabat baginya.
Dan perbincangan malam ini, adalah perbincangan terbaik.
Rasanya, sejauh apapun kami tumbuh, ketika bertemu, rasanya akan sama
saja.
Dia dengan menyebalkannya dia,
Aku dengan bapernya aku.
Kalo dirasa rasa,
dibolehkan jujur,
aku kelihatannya masih sayang
deh...
Tapi bukan sayang untuk memiliki,
Tetapi kasih sayang seorang rekan yang saling menguatkan dan selalu
mengharapkan yang terbaik baginya.
I think,
I bring myself to the whole new level of loving.
I hope so.
