Friday, April 17

Whole New Level of Love (maybe)

0 comments
Mulanya, dari kebingungan aku harus bilang seperti apa lagi untuk menasehati adikku. Bukan adik kandung memang, tapi sudah aku anggap sebagai adik, sebagai teman, sebagai seorang teman yang harus dikuatkan. Orang yang mengenalku secara dekat dan baik akan tahu bahwa aku adalah sosok yang diterima sebagai orang yang dituju ketika berbagi cerita. Apalagi cerita sedih, berkaitan cinta. Sering, aku dipanggil “Cah Cinta”.

Tetapi aku bersyukur akan hal itu.

Adikku ini mengalami masalah yang klasik, namun susah untuk ditangani. Patah hati.

Entah ya, apakah semua orang pernah merasakan sakit hati, patah hati, namun bagi mereka yang sudah memasuki dunia dunia cinta, pasti tidak asing dengan perasaan ini. Konteks lebih spesifiknya adalah patah hati karena pacaran. Klasik bukan?

Masalahnya adalah ketika adikku ini lumayan sulit mengendalikan emosi ketika mengingat seseorang yang dulu dia sayang. Atau mungkin tepatnya hingga saat ini. Namun, kenyataan menghendaki agar mereka berpisah. Sang kekasih sudah mulai meninggalkan kisah cinta lama itu sebagai sebuah pembelajaran, namun adikku ini masih menganggap kisah itu adalah sebuah cita cita yang harus dikejar/dipenuhi. Sehingga ketika dia melihat kenyataan, it feels that the world is so damn cruel for her.

Faktanya, semua perasaan negatif seperti itu, pasti akan membawa kepada perasaan “ketidakadilan” seperti itu.

Karena adikku ini perempuan, ada sisi dimana yang masih aku tidak bisa memahami.

Kenapa tidak berusaha kuat saja?

Sayangnya, memang tidak semua orang sekuat itu. Dan bagiku, hal ini merupakan hal yang wajar. Aku menganggapnya sebagai sebuah proses untuk tumbuh, proses untuk menguat.

Hal yang masih aku bingung adalah : gimana sih pemikiran mereka yang sudah mampu sesegera mungkin “move on” dan “move up” terhadap kasus patah hati? Dan gimana aku harus mengungkapkannya kepadanya, agar dia mengerti?

Jikalau laki laki, yang brain oriented, mereka pasti akan berusaha untuk menerima, mengiyakan tanpa menutup diri dari saran yang mungkin agak lumayan bertentangan dengan pemikirannya tapi sesungguhnya masuk akal.

Perempuan, lumayan susah untuk memahami hal itu. Karena perempuan itu rasanya feeling oriented. Dan disaat yang sama, laki laki tidak memahami hal ini.

Jadilah aku harus bertanya pada mereka yang sudah “Ahli”. Siapa?

Dia adalah “Alumni”ku dulu dan sekarang menjadi teman baikku #ciegetoh

Walaupun bukan lagi bersama sebagai pasangan, tetapi kami masih berhubungan cukup baik. Sesekali aku “mengganggunya” dengan chat yang sebenarnya gak penting dalam sela sela kesibukannya. Tapi karna aku tahu dia sedang liburan, aku fikir bisa jadi topik pembicaraan yang lumayan. Lumayan gak penting.

Sebelum kepertanyaan utama, pasti bahasannya ngalor ngidul dulu. Pencairan suasana gitu. Hingga dirasa sudah pas, baru pertanyaan itu keluar.

Block LINE-nya. Salah satu yang menjadi “ciri khas” daripada nasehatnya, yang sudah pasti muncul karena tindakan dari pengalaman yang dia alami sendiri. Dia bilang juga kalau, aku sebagai teman dari adikku ini harus sebisa mungkin mengajaknya untuk berkegiatan agar kemudian tidak ada waktunya bagi adikku ini memikirkannya “alumni”nya ini. Point-nya adalah : mencari kesibukan.

Faktanya memang tidak semua orang bisa mampu berdamai dengan cara “secara baik baik”. Ada orang yang memang harus “terpaksa” menghapus semuanya terlebih dahulu, melupakan, kemudian membangun kembali kepercayaan terhadap orang yang dulu dipercayai tersebut. Hapus LINE-nya, kontaknya, barang barang yang dia kasih, fotonya, semuanya. Karena kuncinya adalah LUPA.

Namun ada juga cara yang lebih membutuhkan “kekuatan”. Yaitu menerima segalanya secara utuh, menerima realita. Ikhlas. Hal ini yang paling sulit. Tidak harus dengan melakukan “penghapusan akan hal yang mengingatkan padanya”, tetapi dengan cara memberikan ruang kepada diri sendiri bahwa kenyataan yang ada ini merupakan sesuatu yang harus terjadi, pasti terjadi, akan terjadi, dan yang terpenting : akan terlewati. Bukan kemudian mempermasalahkan masalah, namun berusaha mencari apa yang kemudian ada dibalik masalah itu. Bisa itu berupa pengalaman, pembelajaran agar tidak terjebak pada hubungan yang sama, mempelajari karakter seseorang yang sesuai dan tidak sesuai, dan sebagainya. Bahasa sederhanya adalah mengambil hikmah.

Tetapi, yang kemudian dimaksud dengan mengambil hikmah ini sangat berbeda arti dengan melemahkan diri.

Mengambil hikmah adalah proses menerima pembelajaran dari hal yang menyakitkan tersebut untuk kemudian digunakan dalam hubungan lain yang lebih baik.

Melemahkan diri adalah bentuk “mengasihani diri” dan memposisikan diri sebagai korban, yang kemudian menuntut orang lain agar memperbaiki sikapnya kepada kita, sesuai dengan apa yang kita harapkan. Bisa juga : kondisi dimana kita mulai menyalahkan segalanya atas rasa sakit, ketidakadilan yang terjadi pada diri dikarenakan realita yang ada berbeda dengan apa yang diharapkan.

Akan lebih mudah, apabila menganggap didunia ini tidak ada yang namanya baik dan buruk.

Anggap saja semua ini adalah sebuah realita. Realita tanda justifikasi baik dan buruk.

Realita yang terjadi dan sering tidak bisa dikendalikan semuanya seperti kehendak kita.

Jadi, ketika tidak ada baik dan buruk, yang ada hanya realita, maka dampaknya adalah pada kondisi saat kita memberikan respon.

Kita tidak akan mudah senang ketika realita itu sesuai dengan harapan kita dan tidak akan mudah sedih ketika tidak sesuai dengan yang diekspektasikan.



***


Diatas tadi aku menyebutkan bahwa hubunganku dengan “alumni” ku ini cukup baik. Ya, karena memang kami pernah mengalami keadaan yang tidak baik. Sangat tidak baik.

Kalau bermusuhan, masih mendingan. Tetapi kalau bertindak seperti tidak pernah kenal sebelumnya?

Aku fikir, kami sudah melewatinya.

Aku pun hanya sekali itu pacaran. Setelah putus pun, baru nembak sekali tapi ditolak. Hingga kemudian saat ini, aku tidak bisa jatuh cinta lagi.

Jatuh cinta yang aku maksud ini, jatuh cinta yang membuatku bergerak “mengejar”. Aku dan Dinda, mungkin berhenti dalam taraf naksir. Toh, dia sudah ada yang punya.

Aku dan “alumni” ku ini berbeda.

Dia harus melewati fase menghapus dulu. Dan aku, mencoba ikhlas, tapi konsekuensinya adalah jauh lebih lama untuk “move up”.

Saat saat itu adalah saat saat tersulit, menurutku. Tapi untungnya ada orang orang yang bersedia ada dan membantuku melewatinya.

Hingga akhirnya, beberapa bulan ini hubunganku dan dia mulai membaik. Seperti yang pernah aku ceritakan, kita ini berangkat dari sahabat, jadi, ketika bukan lagi kekasih, setidaknya aku ingin tetap menjadi sahabat baginya.

Dan perbincangan malam ini, adalah perbincangan terbaik.

Rasanya, sejauh apapun kami tumbuh, ketika bertemu, rasanya akan sama saja.

Dia dengan menyebalkannya dia,

Aku dengan bapernya aku.

Kalo dirasa rasa,

dibolehkan jujur,

aku kelihatannya masih sayang deh...

Tapi bukan sayang untuk memiliki,

Tetapi kasih sayang seorang rekan yang saling menguatkan dan selalu mengharapkan yang terbaik baginya.



I think,

I bring myself to the whole new level of loving.

I hope so.

Leave a Reply