Latihan
tari malam ini ditutup dengan perbincangan yang seru, menyegarkan, dan
memberikan pelajaran. Tetapi, bahasannya tak lain dan tak bukan adalah ...
cinta.
Dimulai
karena keluguanku yang tidak mampu melihat segala gelagat atau kode kodean yang
terjadi. Kode kode cinta. Dan ketika dijabarkan, reaksiku yaa ada yang nggak
percaya, ada yang manggut manggut, namun ada juga yang “ Ohh pantesaann..”
Begitu.
Aneh
ya.. Padahal aku selalu membangga banggakan diri sebagai orang paling peka diantara
para lelaki.
Atau
mungkin,
Aku
hanya berusaha “membatasi diriku untuk mampu” daripada kemampuan itu.
Ah!
Mungkin itu yang paling tepat.
Aku
memilih untuk lugu saja. Tidak tahu apa apa.
Karena
dengan begitu, tidak akan ada masalah masalah yang “mengada ada”
***
I love psychology. Aku tahu kalian (yang mengikuti setiap tulisanku dan
mengenal baik diriku) sangat mengerti tentang hal ini.
Aku
memulai semua karir belajar psikologi secara otodidak lewat buku yang aku beli
ketika ada bazar di Ponorogo, sejak kelas 1 SMP. Sejak blog ini lahir. Bahkan tulisan
pertama dan yang paling hitz merupakan tulisan tentang psikologi, yaitu bagian
hipnosis.
Kemudian
terus melebar hingga ke kemampuan membaca wajah, ilmu mengendalikan emosi
ekstrem, belajar membaca cepat, dan banyak lagi. Hingga kemudian, aku belajar
mengasah kemampuan intuisi. Belajar menganalisa karakter orang saat pertama
bertemu, cara dia berpikir, dan sebagainya.
Dan sekarang,
yang aku kemudian pelajari adalah deduksi serta Mind Palace yang terinspirasi dari serial Sherlock yang dibintangi
oleh Benedict Cumberbatch. Dan ini bisa dipelajari, yaitu adalah kemampuan
mengingat dengan metode Loki yang bisa dicari di google.
Dalam
perjalanannya, aku berusaha untuk membuat “teori dan hukum” sendiri yang keluar
begitu saja dari pemikiran dan perenunganku. Salah satunya yang paling mutakhir
adalah menganalisa seseorang apakah dia itu perempuan atau laki laki ketika
sedang mengendarai sepeda motor dengan melihat ALAS KAKI yang digunakannya.
Pemikiran itu sering datang secara tiba tiba dan aku tidak sempat
memberkaskannya dalam tulisan karena sudah lupa atau karena teori itu terbantahkan.
Intinya adalah ...
I made my own rule, analysis, theory,
or even own world.
Tidak
semuanya benar dan sesuai memang, tetapi tidak sedikit yang sesuai.
Merdeka
dengan definisiku sendiri.
***
Cukup
untuk pengantarnya.
Tulisan
ini akan sangat panjang apabila harus saya tuliskan semua yang kami
perbincangkan malam ini. Mungkin saya tidak bisa menuliskan semua, namun semoga
point pentingnya yang bagus bisa
tersampaikan.
Pembahasan
daripada tulisan ini akan saya kerucutkan kepada ...
Mengapa
bisa pemikiran daripada laki laki dan perempuan begitu berbeda mengenai cinta?
Bahkan mengenai “masa depan daripada cinta itu” (re: pernikahan).
Dan selamat,
ber-Teori.
Obrolan
cinta ini kami lakukan bertiga, yaitu saya, Adinda Dek Denik dan Adinda Dek
Palma. Kami memang cukup dekat dan hebatnya nyambung dalam masalah seperti ini.
Background Denik adalah psikologi, Palma adalah Teknik, dan saya adalah Hukum-Psikologi-Campurcampur.
Kombinasi yang menarik bukan?
Kalau
tidak salah ingat, semua dimulai dengan mantan sih. Membicarakan mantan memang
hal yang menarik bahkan menjadi topik yang “menggugah”. Ibarat manusia, mungkin
membicarakan topik ini seperti melihat dan membicarakan seseorang yang memiliki
“sex appeal” yang tinggi. Pastinya, tidak membosankan.
Kebetulan
lagi, kami bertiga jomblo semua. Eh, maaf, lebih tepatnya : Lajang.
Dari
dua adik saya yang perempuan ini, saya kaget ketika mereka sudah memikirkan dan
mempertimbangkan hal hal mendasar tentang cinta bahkan pernikahan. Dari yang
saya amati, tipikal hubungan yang mereka ingin bangun adalah tipikal hubungan
yang serius atau berkomitmen tetapi tidak meninggalkan unsur menyenangkan.
Karena
ada juga kan kalangan yang pacaran dengan mahzab “serius ekstrem” atau bahkan “bermain
mains saja”.
Dua
hal ini, bukan tipikal mereka.
Yang
membuat saya kaget adalah ketika mereka menjabarkan detil daripada komponen
komponen dari hubungan cinta itu sendiri. Pertimbangannya bukanlah lagi
pertimbangan “suka atau tidak”. Lebih daripada itu.
Pertimbangan
yang diambil sudah memasuki daripada faktor
kemapanan (ekonomi), kesesuaian kepribadian dengan pasangan, kemampuan
pengendalian emosi, etika, kesesuaian dengan antara pasangan dengan keluarga,
kemampuan membangun keluarga jika bersama (menikah), kemampuan yang harus
dimiliki oleh masing masing (mereka dan pasangan) dalam hubungan, jarak,
dan lain lain.
Banyak
faktor, namun yang lebih mampu saya tangkap adalah hal hal yang saya sebut
diatas dan saya tebali.
Perempuan
(dalam hal ini sample-nya adalah mereka berdua) memikirkan juga apakah
kepribadian yang dimiliki daripada calon-pasangan ini sesuai atau tidak dengan
kepribadian mereka. Berarti, hal ini harus dimulai dari “mengenali kepribadian
diri sendiri” terlebih dahulu. Yangmana, tidak semua orang bisa benar benar
memahami “siapa diri mereka” itu.
Kemudian,
kesesuaian dengan kepribadian keluarga. Disini dicontohkan ketika pasangan
(misalkan si A) dirasa sudah cocok dengan mereka (narasumber: Denik-Palma) akan tetapi memiliki potensi untuk tidak cocok secara
kepribadiannya dengan pihak keluarga
narasumber, maka kemungkinan besar akan berhenti ditengah jalan. Dan tidak
dilanjutkan. Misalkan, narasumber memiliki kepribadian yang keras, pasangan
adalah seorang sosok yang sabar, fleksibel dan mampu mengayomi. Secara mereka
berdua saja memang sudah cocok. Namun, ternyata yang menjadi masalah adalah
ketika sang pasangan, memiliki kepribadian yang tidak cocok dengan orang tua
daripada narasumber, karena, misalnya Ortu narasumber memiliki kepribadian
keras dan disiplin tinggi yang tidak akan cocok bila di”adukan” dengan sang
pasangan.
(paham
kan?)
Lalu,
kemampuan dalam membangun keluarga jika bersama. Ijinkan saya menjabarkan
dengan memberikan pertanyaan : 1. Apakah
narasumber bersedia untuk memilih bersama dengan pasangan yang sekarang memang
belum memiliki kemapanan ekonomi baik, namun memiliki sikap dan kemampuan dalam
membangun ekonomi secara baik? 2. Pilih yang mana kah, yang sudah mapan? Atau membangun
kemapanan secara bersama sama?
Sederhananya,
Pilih pasangan yang “sudah jadi” atau pilih “jadi” secara bersama sama (setelah
menikah)
Yang
terakhir adalah jarak. Inginnya adalah pasangan yang tidak jauh dan tidak akan
membawa mereka (narasumber) jauh daripada orang tua. Jadi, pilihannya adalah
disekitar pulau Jawa. Pertimbangan ini memang pertimbangan yang pragmatis atas
dasar perasaan/keinginan untuk tidak jauh dari keluarga. Rasional sih.
Seperti
yang sudah dijabarkan diatas, entah apakah mereka saja atau memang perempuan
secara general memang biasa memikirkan hal sejauh itu.
Padahal
saya sendiri pun, masih terbilang sangat santai. Kesendirian ini tidak kemudian
menjadi alasan penyedih bagi saya. Karena, untungnya saya pun memiliki
aktivitas yang harus dikerjakan sehingga kekhawatiran saya terhadap hal yang
tidak perlu untuk dikhawatirkan kemudian tidak muncul dan menguasai.
Saya
tidak terlalu mempersoalkan menikah cepat atau lama.
Yang
saya persoalkan adalah saya harus sesegera mungkin berhasil dengan cemerlang
dibidang yang saya tekuni. Suka ataupun tidak.
Kemudian,
kemapanan akan hal ekonomi alias menjadi Orang yang Banyak Duit adalah target
yang harus saya capai sesegera mungkin.
Uang,
bagi saya penting. Walaupun bukan segalanya, namun saat ini segalanya menuntut
akan biaya.
Dan yang
namanya biaya, bersumber dari uang.
Saya
tidak membenci kekayaan. Karena, membenci kekayaan hanya akan semakin
menjauhkan saya dari kekayaan.
Karena,
cinta bukanlah suatu entitas yang bisa dimakan, dan sesuatu yang dimakan
mengharuskan untuk dibeli : dengan uang. Kalo gak makan, apa masih bisa cinta?
Itulah
gambaran sederhana pemikiran saya, atau bahkan mungkin pemikiran laki laki.
Beda
kan? Sangat jauh berbeda.
Kemudian
pertanyaannya,
Mengapa
bisa berbeda?
Jawaban
saya sederhana.
Umur.
Umurlah
yang menjadikan pemikiran ini begitu mengesankan kontradiksi, begitu saling
bertolak belakang.
Karena,
perempuan itu memiliki “batas waktu” untuk sesegera mungkin menikah. Kisaran
umurnya adalah 23-25 tahun. Ketika saya pun bertanya kepada rekan saya yang
perempuan, memang diangka sekitar segitulah mereka ingin segera menikah.
Sedangkan
laki laki, sangat fleksibel sekali mengenai kapan menikah. Tidak terbataskan
pada umur. Laki laki menikah umur 30 tahun lebih pun masih OK OK saja. Tidak
ada gejolak batin yang begitu mengganggu, apalagi ditambah kemapanan yang baik
secara emosional dan finansial yang mana merupakan dua hal pokok.
“batas
waktu” ini adalah kemampuan daripada rahim perempuan yang baik untuk
mengandung. Adalah hal yang sangat menyakitkan apabila perempuan yang sudah
menikah namun tidak mampu mengandung dikarenakan ketidakmampuan daripada
rahimnya. Entah sudah “tidak maksimal” atau bahkan ada bahaya penyakit yang
mengancam.
Kemudian
pun juga ada sebutan “perawan tua” yang menjadi predikat yang kurang baik bila
itu tersematkan kepada seorang perempuan yang tidak kunjung menikah dalam
seusianya padahal rekan rekan perempuannya yang seangkatan dengannya sudah
menikah semua.
Dadi wadon kon gak laku laku (jadi perempuan kok gak laku laku).
Walaupun
memang hal ini bisa dikecualikan apabila perempuan tersebut memiliki tanggung
jawab karir yang mengharuskan untuk tidak menikah terlebih dahulu.
Dikhawatirkan, ketika menikah dalam karir puncak akan menyebabkan hilangnya
puncak yang dibangun, padahal banyak orang yang bergantung daripadanya. Orang
tua dan kerabat misalnya.
Dari
penjabaran inilah, penulis menyimpulkan.
Bahwa
hal yang menjadi salah satu dasar daripada perbedaan daripada pola perkembangan pemikiran tentang
cinta antara laki laki dan perempuan adalah pada Umur.
Memang
ada sih, faktor lain yang mendukung. Salah satunya adalah hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa perkembangan otak perempuan selalu matang lebih dahulu daripada laki laki. Bisa juga hal ini
mempengaruhi.
Tetapi,
saya berpikir, akarnya ada pada umur.
Apakah
ketika perempuan tidak memiliki “batas waktu” dan yang kemudian dibarengi
dengan tidak adanya dokma dan doktrin seperti diatas, masihkah perempuan
menjadi kalangan yang sangat khawatir dan perhitungan detil mengenai cinta?
Pertanyaan
menarik ini akan menjadi bahasan yang menarik selanjutnya.
Semoga
bisa bertemu dengan jawabannya,
Kelak.
Well,
See ya!

seharusnya penyamaran nama..
sebut saja bunga :-D