Tuesday, April 28

Pemikiran Cinta yang Berbeda (Analisis Perspektif Laki Laki - Perempuan)

1 comments
Latihan tari malam ini ditutup dengan perbincangan yang seru, menyegarkan, dan memberikan pelajaran. Tetapi, bahasannya tak lain dan tak bukan adalah ... cinta.

Dimulai karena keluguanku yang tidak mampu melihat segala gelagat atau kode kodean yang terjadi. Kode kode cinta. Dan ketika dijabarkan, reaksiku yaa ada yang nggak percaya, ada yang manggut manggut, namun ada juga yang “ Ohh pantesaann..”

Begitu.


Aneh ya.. Padahal aku selalu membangga banggakan diri sebagai orang paling peka diantara para lelaki.

Atau mungkin,

Aku hanya berusaha “membatasi diriku untuk mampu” daripada kemampuan itu.

Ah! Mungkin itu yang paling tepat.

Aku memilih untuk lugu saja. Tidak tahu apa apa.

Karena dengan begitu, tidak akan ada masalah masalah yang “mengada ada”


***


I love psychology. Aku tahu kalian (yang mengikuti setiap tulisanku dan mengenal baik diriku) sangat mengerti tentang hal ini.

Aku memulai semua karir belajar psikologi secara otodidak lewat buku yang aku beli ketika ada bazar di Ponorogo, sejak kelas 1 SMP. Sejak blog ini lahir. Bahkan tulisan pertama dan yang paling hitz merupakan tulisan tentang psikologi, yaitu bagian hipnosis.

Kemudian terus melebar hingga ke kemampuan membaca wajah, ilmu mengendalikan emosi ekstrem, belajar membaca cepat, dan banyak lagi. Hingga kemudian, aku belajar mengasah kemampuan intuisi. Belajar menganalisa karakter orang saat pertama bertemu, cara dia berpikir, dan sebagainya.

Dan sekarang, yang aku kemudian pelajari adalah deduksi serta Mind Palace yang terinspirasi dari serial Sherlock yang dibintangi oleh Benedict Cumberbatch. Dan ini bisa dipelajari, yaitu adalah kemampuan mengingat dengan metode Loki yang bisa dicari di google.

Dalam perjalanannya, aku berusaha untuk membuat “teori dan hukum” sendiri yang keluar begitu saja dari pemikiran dan perenunganku. Salah satunya yang paling mutakhir adalah menganalisa seseorang apakah dia itu perempuan atau laki laki ketika sedang mengendarai sepeda motor dengan melihat ALAS KAKI yang digunakannya. Pemikiran itu sering datang secara tiba tiba dan aku tidak sempat memberkaskannya dalam tulisan karena sudah lupa atau karena teori itu terbantahkan. Intinya adalah ...

I made my own rule, analysis, theory, or even own world.

Tidak semuanya benar dan sesuai memang, tetapi tidak sedikit yang sesuai.

Merdeka dengan definisiku sendiri.


***


Cukup untuk pengantarnya.

Tulisan ini akan sangat panjang apabila harus saya tuliskan semua yang kami perbincangkan malam ini. Mungkin saya tidak bisa menuliskan semua, namun semoga point pentingnya yang bagus bisa tersampaikan.

Pembahasan daripada tulisan ini akan saya kerucutkan kepada ...

Mengapa bisa pemikiran daripada laki laki dan perempuan begitu berbeda mengenai cinta? Bahkan mengenai “masa depan daripada cinta itu” (re: pernikahan).


Dan selamat, ber-Teori.

Obrolan cinta ini kami lakukan bertiga, yaitu saya, Adinda Dek Denik dan Adinda Dek Palma. Kami memang cukup dekat dan hebatnya nyambung dalam masalah seperti ini. Background Denik adalah psikologi, Palma adalah Teknik, dan saya adalah Hukum-Psikologi-Campurcampur. Kombinasi yang menarik bukan?

Kalau tidak salah ingat, semua dimulai dengan mantan sih. Membicarakan mantan memang hal yang menarik bahkan menjadi topik yang “menggugah”. Ibarat manusia, mungkin membicarakan topik ini seperti melihat dan membicarakan seseorang yang memiliki “sex appeal” yang tinggi. Pastinya, tidak membosankan.

Kebetulan lagi, kami bertiga jomblo semua. Eh, maaf, lebih tepatnya : Lajang.

Dari dua adik saya yang perempuan ini, saya kaget ketika mereka sudah memikirkan dan mempertimbangkan hal hal mendasar tentang cinta bahkan pernikahan. Dari yang saya amati, tipikal hubungan yang mereka ingin bangun adalah tipikal hubungan yang serius atau berkomitmen tetapi tidak meninggalkan unsur menyenangkan.

Karena ada juga kan kalangan yang pacaran dengan mahzab “serius ekstrem” atau bahkan “bermain mains saja”.

Dua hal ini, bukan tipikal mereka.

Yang membuat saya kaget adalah ketika mereka menjabarkan detil daripada komponen komponen dari hubungan cinta itu sendiri. Pertimbangannya bukanlah lagi pertimbangan “suka atau tidak”. Lebih daripada itu.

Pertimbangan yang diambil sudah memasuki daripada faktor kemapanan (ekonomi), kesesuaian kepribadian dengan pasangan, kemampuan pengendalian emosi, etika, kesesuaian dengan antara pasangan dengan keluarga, kemampuan membangun keluarga jika bersama (menikah), kemampuan yang harus dimiliki oleh masing masing (mereka dan pasangan) dalam hubungan, jarak, dan lain lain.

Banyak faktor, namun yang lebih mampu saya tangkap adalah hal hal yang saya sebut diatas dan saya tebali.

Perempuan (dalam hal ini sample-nya adalah mereka berdua) memikirkan juga apakah kepribadian yang dimiliki daripada calon-pasangan ini sesuai atau tidak dengan kepribadian mereka. Berarti, hal ini harus dimulai dari “mengenali kepribadian diri sendiri” terlebih dahulu. Yangmana, tidak semua orang bisa benar benar memahami “siapa diri mereka” itu.

Kemudian, kesesuaian dengan kepribadian keluarga. Disini dicontohkan ketika pasangan (misalkan si A) dirasa sudah cocok dengan mereka (narasumber: Denik-Palma) akan tetapi memiliki potensi untuk tidak cocok secara kepribadiannya dengan pihak keluarga narasumber, maka kemungkinan besar akan berhenti ditengah jalan. Dan tidak dilanjutkan. Misalkan, narasumber memiliki kepribadian yang keras, pasangan adalah seorang sosok yang sabar, fleksibel dan mampu mengayomi. Secara mereka berdua saja memang sudah cocok. Namun, ternyata yang menjadi masalah adalah ketika sang pasangan, memiliki kepribadian yang tidak cocok dengan orang tua daripada narasumber, karena, misalnya Ortu narasumber memiliki kepribadian keras dan disiplin tinggi yang tidak akan cocok bila di”adukan” dengan sang pasangan.

(paham kan?)

Lalu, kemampuan dalam membangun keluarga jika bersama. Ijinkan saya menjabarkan dengan memberikan pertanyaan : 1. Apakah narasumber bersedia untuk memilih bersama dengan pasangan yang sekarang memang belum memiliki kemapanan ekonomi baik, namun memiliki sikap dan kemampuan dalam membangun ekonomi secara baik? 2. Pilih yang mana kah, yang sudah mapan? Atau membangun kemapanan secara bersama sama?

Sederhananya, Pilih pasangan yang “sudah jadi” atau pilih “jadi” secara bersama sama (setelah menikah)

Yang terakhir adalah jarak. Inginnya adalah pasangan yang tidak jauh dan tidak akan membawa mereka (narasumber) jauh daripada orang tua. Jadi, pilihannya adalah disekitar pulau Jawa. Pertimbangan ini memang pertimbangan yang pragmatis atas dasar perasaan/keinginan untuk tidak jauh dari keluarga. Rasional sih.

Seperti yang sudah dijabarkan diatas, entah apakah mereka saja atau memang perempuan secara general memang biasa memikirkan hal sejauh itu.

Padahal saya sendiri pun, masih terbilang sangat santai. Kesendirian ini tidak kemudian menjadi alasan penyedih bagi saya. Karena, untungnya saya pun memiliki aktivitas yang harus dikerjakan sehingga kekhawatiran saya terhadap hal yang tidak perlu untuk dikhawatirkan kemudian tidak muncul dan menguasai.

Saya tidak terlalu mempersoalkan menikah cepat atau lama.

Yang saya persoalkan adalah saya harus sesegera mungkin berhasil dengan cemerlang dibidang yang saya tekuni. Suka ataupun tidak.

Kemudian, kemapanan akan hal ekonomi alias menjadi Orang yang Banyak Duit adalah target yang harus saya capai sesegera mungkin.

Uang, bagi saya penting. Walaupun bukan segalanya, namun saat ini segalanya menuntut akan biaya.

Dan yang namanya biaya, bersumber dari uang.

Saya tidak membenci kekayaan. Karena, membenci kekayaan hanya akan semakin menjauhkan saya dari kekayaan.

Karena, cinta bukanlah suatu entitas yang bisa dimakan, dan sesuatu yang dimakan mengharuskan untuk dibeli : dengan uang. Kalo gak makan, apa masih bisa cinta?


Itulah gambaran sederhana pemikiran saya, atau bahkan mungkin pemikiran laki laki.

Beda kan? Sangat jauh berbeda.

Kemudian pertanyaannya,

Mengapa bisa berbeda?

Jawaban saya sederhana.


Umur.

Umurlah yang menjadikan pemikiran ini begitu mengesankan kontradiksi, begitu saling bertolak belakang.

Karena, perempuan itu memiliki “batas waktu” untuk sesegera mungkin menikah. Kisaran umurnya adalah 23-25 tahun. Ketika saya pun bertanya kepada rekan saya yang perempuan, memang diangka sekitar segitulah mereka ingin segera menikah.

Sedangkan laki laki, sangat fleksibel sekali mengenai kapan menikah. Tidak terbataskan pada umur. Laki laki menikah umur 30 tahun lebih pun masih OK OK saja. Tidak ada gejolak batin yang begitu mengganggu, apalagi ditambah kemapanan yang baik secara emosional dan finansial yang mana merupakan dua hal pokok.

“batas waktu” ini adalah kemampuan daripada rahim perempuan yang baik untuk mengandung. Adalah hal yang sangat menyakitkan apabila perempuan yang sudah menikah namun tidak mampu mengandung dikarenakan ketidakmampuan daripada rahimnya. Entah sudah “tidak maksimal” atau bahkan ada bahaya penyakit yang mengancam.

Kemudian pun juga ada sebutan “perawan tua” yang menjadi predikat yang kurang baik bila itu tersematkan kepada seorang perempuan yang tidak kunjung menikah dalam seusianya padahal rekan rekan perempuannya yang seangkatan dengannya sudah menikah semua.

Dadi wadon kon gak laku laku (jadi perempuan kok gak laku laku).

Walaupun memang hal ini bisa dikecualikan apabila perempuan tersebut memiliki tanggung jawab karir yang mengharuskan untuk tidak menikah terlebih dahulu. Dikhawatirkan, ketika menikah dalam karir puncak akan menyebabkan hilangnya puncak yang dibangun, padahal banyak orang yang bergantung daripadanya. Orang tua dan kerabat misalnya.

Dari penjabaran inilah, penulis menyimpulkan.

Bahwa hal yang menjadi salah satu dasar daripada perbedaan daripada pola perkembangan pemikiran tentang cinta antara laki laki dan perempuan adalah pada Umur.

Memang ada sih, faktor lain yang mendukung. Salah satunya adalah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perkembangan otak perempuan selalu matang lebih dahulu daripada laki laki. Bisa juga hal ini mempengaruhi.


Tetapi, saya berpikir, akarnya ada pada umur.

Apakah ketika perempuan tidak memiliki “batas waktu” dan yang kemudian dibarengi dengan tidak adanya dokma dan doktrin seperti diatas, masihkah perempuan menjadi kalangan yang sangat khawatir dan perhitungan detil mengenai cinta?

Pertanyaan menarik ini akan menjadi bahasan yang menarik selanjutnya.

Semoga bisa bertemu dengan jawabannya,

Kelak.



Well,
See ya!

One Response so far

  1. _NSPP says:

    seharusnya penyamaran nama..
    sebut saja bunga :-D

Leave a Reply