Sudah
tiga harus berturut turut aku memimpikan 1 manusia yang sama. Selalu dia, tidak
pernah berganti.
Seseorang
yang sangat berharga bagiku, hingga sekarang. Walaupun mungkin hubungan kami
tak sebaik dahulu, tetap, dia akan selamanya berharga bagiku.
Kami
bersama kurang lebih 3 tahun lamanya. Awet. Sejak kelas 2 SMP kami mulai dekat
dan akhirnya berkomitmen baik bersama. Aku masih sangat ingat kala itu, KIR
(Karya Ilmiah Remaja) lah yang membuat kami bertemu hingga akhirnya akrab.
Aku
mencintai sahabatku sendiri.
That’s exactly what happen. But, it’s OK
for both of us, was.
Sulitnya
ketika pacaran dengan sahabat sendiri adalah ketika tidak bersama lagi sebagai
sepasang kekasih, menurutku. Entah apa, ada yang sangat berubah dan berbeda.
Bukan hanya pada dirinya, lebih tepatnya adalah pada kami berdua.
Tidak
ada yang perlu dipersalahkan. Karena hakikatnya, tidak ada yang salah.
Aku
sendiri sering menulis yaa, ditulisan sebelumnya bahwa komunikasi adalah jalan
keluar terbaik dari segala masalah hubungan. Tetapi, yang ironi adalah ketika
aku (yang biasa menasehatkan begitu) cukup susah untuk menerapkannya sendiri.
Jarak adalah salah satu faktor. Faktor yang lain adalah “kita berada pada ‘kelas’
yang berbeda”.
I just can’t “reach” her anymore.
Dan
dari nasehat yang aku dapat, mungkin memang seharusnya seperti ini.
Aku harus
‘melepaskan’
Banyak
sekali yang bertanya,” sebenernya konsep
dan praktik ‘melepaskan’ itu bagaimana sih? Aku masih terlalu baur dan nggak
ngerti deh”
Hmmm...
Aku,
sebenarnya tidak sepenuhnya mengerti bagaimana.
Tetapi,
ketika itu adalah hal yang menuntutku harus melakukannya, maka akan aku
lakukan.
Aku
akan berhenti bertanya, beralasan, dan mulai melakukannya saja.
Karena
aku percaya, ketika kita melakukannya dengan tidak mengetahuinya, kita akan
dibuat mengerti oleh Tuhan ketika sedang melakukannya.
Singkatnya,
learn by doing.
Kalau
bicara tentang konsep, sudah pasti kita tahu bahwa konsep “melepaskan” adalah
sama dengan “mengikhlaskan”.
Dan
memang mengikhlaskan itu sulit, namun bisa dilatih dan diusahakan. Bahkan, agar
kamu selamat, mau-tidakmau kita harus melakukannya.
Yang
aku maksud “selamat” diatas adalah selamat dari rasa sakit yang lama dan
berkepanjangan.
Aku
mulai paham. Bahwa memang seseorang itu berubah. Pasti.
Aku
dan dia, berubah. Dalam cara yang mungkin asing bagi satu sama lain.
Aku
begitu asing dengan perubahannya, dan mungkin dia juga begitu asing dengan
segala perubahanku.
Atau
bahkan, aku yang tak kunjung berubah, begitu asing untuk dirinya yang sudah
begitu cepat berubah.
Berubah
adalah sebuah keniscayaan.
Agar
bisa “selamat”, aku harus menerimanya sebagai sebuah kenyataan.
Dan
memang, untuk bisa sempurna, segalanya butuh proses. Termasuk proses “melepaskan”
ini.
Entah
ya, apa sebenarnya maksud Tuhan dengan memberiku bunga tidur mengenai dirinya.
Aku hanya berasumsi,
Mungkin
aku memang masih begitu menyayanginya.
Bahasa
kasarnya “susah move on”
Tapi
ini beda.
Bedanya
adalah rasa sayang yang dulunya sebagai kekasih, berubah menjadi rasa sayang
seorang sahabat.
Sahabat
yang lamaa sekali tak berjumpa.
Dan
karena kita ada di “kelas yang berbeda”, aku merasa canggung.
Siapa sih aku yang masih harus datang
ke kehidupanmu?
Mungkin
karena itulah, aku berusaha untuk diam dan menyembunyikannya.
Itu semua
semata, agar aku tidak lagi mengganggu hidupnya.
Sesederhana
itu.
aku bisa menerimamu sebagai
orang yang tak lagi sama,
tapi
aku tak bisa menerima jika
engkau harus menjauh dari kehidupanku
