Tuesday, February 17

Dikelas yang Berbeda

0 comments
Sudah tiga harus berturut turut aku memimpikan 1 manusia yang sama. Selalu dia, tidak pernah berganti.

Seseorang yang sangat berharga bagiku, hingga sekarang. Walaupun mungkin hubungan kami tak sebaik dahulu, tetap, dia akan selamanya berharga bagiku.

Kami bersama kurang lebih 3 tahun lamanya. Awet. Sejak kelas 2 SMP kami mulai dekat dan akhirnya berkomitmen baik bersama. Aku masih sangat ingat kala itu, KIR (Karya Ilmiah Remaja) lah yang membuat kami bertemu hingga akhirnya akrab.

Aku mencintai sahabatku sendiri.

That’s exactly what happen. But, it’s OK for both of us, was.

Sulitnya ketika pacaran dengan sahabat sendiri adalah ketika tidak bersama lagi sebagai sepasang kekasih, menurutku. Entah apa, ada yang sangat berubah dan berbeda. Bukan hanya pada dirinya, lebih tepatnya adalah pada kami berdua.

Tidak ada yang perlu dipersalahkan. Karena hakikatnya, tidak ada yang salah.

Aku sendiri sering menulis yaa, ditulisan sebelumnya bahwa komunikasi adalah jalan keluar terbaik dari segala masalah hubungan. Tetapi, yang ironi adalah ketika aku (yang biasa menasehatkan begitu) cukup susah untuk menerapkannya sendiri. Jarak adalah salah satu faktor. Faktor yang lain adalah “kita berada pada ‘kelas’ yang berbeda”.

I just can’t “reach” her anymore.

Dan dari nasehat yang aku dapat, mungkin memang seharusnya seperti ini.

Aku harus ‘melepaskan’

Banyak sekali yang bertanya,” sebenernya konsep dan praktik ‘melepaskan’ itu bagaimana sih? Aku masih terlalu baur dan nggak ngerti deh”

Hmmm...

Aku, sebenarnya tidak sepenuhnya mengerti bagaimana.

Tetapi, ketika itu adalah hal yang menuntutku harus melakukannya, maka akan aku lakukan.

Aku akan berhenti bertanya, beralasan, dan mulai melakukannya saja.

Karena aku percaya, ketika kita melakukannya dengan tidak mengetahuinya, kita akan dibuat mengerti oleh Tuhan ketika sedang melakukannya.

Singkatnya, learn by doing.

Kalau bicara tentang konsep, sudah pasti kita tahu bahwa konsep “melepaskan” adalah sama dengan “mengikhlaskan”.

Dan memang mengikhlaskan itu sulit, namun bisa dilatih dan diusahakan. Bahkan, agar kamu selamat, mau-tidakmau kita harus melakukannya.

Yang aku maksud “selamat” diatas adalah selamat dari rasa sakit yang lama dan berkepanjangan.


Aku mulai paham. Bahwa memang seseorang itu berubah. Pasti.

Aku dan dia, berubah. Dalam cara yang mungkin asing bagi satu sama lain.

Aku begitu asing dengan perubahannya, dan mungkin dia juga begitu asing dengan segala perubahanku.

Atau bahkan, aku yang tak kunjung berubah, begitu asing untuk dirinya yang sudah begitu cepat berubah.

Berubah adalah sebuah keniscayaan.

Agar bisa “selamat”, aku harus menerimanya sebagai sebuah kenyataan.

Dan memang, untuk bisa sempurna, segalanya butuh proses. Termasuk proses “melepaskan” ini.


Entah ya, apa sebenarnya maksud Tuhan dengan memberiku bunga tidur mengenai dirinya. Aku hanya berasumsi,

Mungkin aku memang masih begitu menyayanginya.

Bahasa kasarnya “susah move on”

Tapi ini beda.

Bedanya adalah rasa sayang yang dulunya sebagai kekasih, berubah menjadi rasa sayang seorang sahabat.

Sahabat yang lamaa sekali tak berjumpa.


Dan karena kita ada di “kelas yang berbeda”, aku merasa canggung.

Siapa sih aku yang masih harus datang ke kehidupanmu?

Mungkin karena itulah, aku berusaha untuk diam dan menyembunyikannya.

Itu semua semata, agar aku tidak lagi mengganggu hidupnya.

Sesederhana itu.



aku bisa menerimamu sebagai orang yang tak lagi sama,
tapi
aku tak bisa menerima jika engkau harus menjauh dari kehidupanku

Leave a Reply