Berita
itu datang membawa duka. Kemarin Rabu sore, sekitar jam 4.
Memang
benar setiap hari kita berduka. Bahkan menit pun. Karena, di setiap menit itu
pasti terdapat siapapun manusia yang telah meninggalkan dunia.
Pramudigdo
Sony Rawatama.
Kesan
yang baik sudah terpancar dari namanya. Terdengar gagah, anggun, kuat. Tetapi
dari yang aku tahu, dia adalah orang yang tenang.
Sebenarnya
aku tidak begitu mengenalnya. Bahkan ketika namanya disebut dan fotonya
ditunjukkan dalam grub LINE, aku masih belum mengenalinya. Hingga akhirnya ada
nama yang mengingatkan, Denik. Adik dari Denik. Sahabat dari adikku, Wahyu
Chyntia (Tia), teman dalam perjuanganku melakoni Seni Pertunjukan REOG Ponorogo
di Jogja.
Ahh...
Ingat aku sekarang.
Denik
ini pernah mengungkit nama ini dalam perbincanganku dengannya. Tepatnya adalah
saat dimana kami beserta teman teman Manggolo Mudho mempersiapkan pertunjukan
kami untuk tampil di ISI Jogja. Yang paling meninggalkan bekas diingatanku
adalah dia adalah seorang penari yang ikut dan membawa SMA 1 Ponorogo menjuarai
FRN 2014 kemarin. Kesan itu begitu ku ingat, mengingat ketidak berhasilan kami
untuk memenangi kategori 10 Besar Penampil Terbaik. Dalam bayanganku, “ he such a good guy, of course “
Tetapi,
ternyata aku salah. Dia bukan seorang good
guy.
He is a great man.
Indeed.
Singkat
cerita, malamnya aku bertanya kepada salah satu seniorku di Manggolo Mudho, -
sudah tahu berita duka ini apa belum – Oh ternyata sudah. Dan esok Kamisnya
berniat untuk melayat. Aku pun segera mengiyakan untuk bergabung untuk ikut
melayat, padahal malam itu aku masih di Jogja, menyelesaikan Ujian Akhir
Semester 3 ku yang tinggal satu mata kuliah saja.
Singkat
cerita, Kamis siang esoknya aku pun melesat ke kampung halaman. Hujan
disepanjang jalan menuju Ponorogo membuatku sebal dan kelabakan. Untungnya, aku
masih selamat.
Malamnya,
aku bersama kawan Manggolo Mudho yang lain – Mas Najih, Mas Hamid, Mas Hafid,
Mbak Novi, Mas Ijul, dan satu dari kawannya yang tak ku ketahui namanya –
berangkat menuju rumah yang berduka. Rumahnya ada di daerah Tambakbayan
Ponorogo. Tidak terlalu jauh dari pusat kota. Bahkan dekat dengan Alon Alon.
Jalan yang ternyata cukup sering aku lewati ketika pulang ke Ponorogo.
Kami
datang pukul 9 malam. Emmm ... Agak sedikit canggung dan kurang enak malam
malam berkunjung, tetapi ini terjadi karena Denik sendirilah yang meminta kami
untuk datang sedikit lebih malam, karena saat jam sebelumnya, masih
dilaksanakan Yasinan untuk almarhum. Toh, kami pun kumpulnya telat dari yang
disepakati. Di grub BBM jelas tertulis untuk berkumpul jam 6, eh, apa daya baru
bisa kumpul jam 8 malam. Molor 2 jam. Aku fikir, inilah salah satu “kelebihan”
dari orang Indonesia, yaitu sifat “toleransi”nya yang amat tinggi. Tapi tak
apalah, untuk saja rencana berkunjung masih bisa terlaksana.
Ketika
kami datang, terop terop dan jajaran kursi plastik masih ada ditempatnya. Sebagian
lagi sudah ditata rapi berjejer keatas disalah satu sudut. Kesan yang pertama
muncul adalah : sederhana. Tidak ada yang pernah aku ketahui lebih dari itu,
tidak sebelum perbincangan satu jam yang mengubah kesanku kepada almarhum.
Bagian
ruang tamu rumahnya digelar karpet merah, tanda bahwa benar telah habis Yasinan
dirumah tersebut. Bapak bapak yang masih ada disekujur bagian rumah pun juga
menegaskan kesan itu. Ayah dan Ibu almarhum duduk ditengah ruangan, tengah
berbicara dengan para tamu tamu yang sudah cukup sepuh. Kami pun mengucap permisi dan menyalami semua yang ada
diruang tamu itu, Denik belum ada disana, entah mungkin masih didalam. Selesai
bersalaman, kami pun menepi kesisi yang lain, berjajar bertujuh. Rapi.
Entah
benar atau tidak ruang itu adalah ruang tamu atau bukan, karena begitu banyak
berkas berkas yang tersusun dalam lemari di satu sudut yang lain. Aku fikir
ruang ini juga menjadi ruang kerja bagi keluarga almarhum.
Yang
jelas, kesedihan masih begitu menyelimuti keluarga. Raut yang masih murung dari
ayah dan ibu, masih terlihat “terlalu” jelas bagiku. Entah ini benar atau hanya
sekedar duga duga saja. Hingga akhirnya Denik keluar, menyalami kami satu persatu
dan “ Mas, maafin adekku yaa kalo ada salah neng
sampeyan “. Aku hanya bisa tersenyum, menjabat tangannya dan mengiyakan.
Duh.
Padahal, aku bertemu dengan almarhum saja belum pernah.
Setelah
kedua tamu yang berbincang dengan kedua orang tua almarhum undur diri, percakapan
pun akhirnya berpindah bola.
Seperti
layaknya melayat, perbincangan pasti seputar almarhum. Kapan dimakamkan, kapan
tepatnya diketahui kalau almarhum sakit, sakit apa, dan lain sebagainya. Cerita
cerita singkat seputar almarhumlah yang membuatku menulis tulisan ini.
Sejak
SD, darah seni sudah mengalir dalam nadinya. Bakat menggambar dan menarilah
yang begitu menonjol dari almarhum. Dari umur masih kinyis kinyis hingga akhir perjuangan hayatnya, seni adalah
dirinya. Begitu banyak prestasi yang almarhum torehkan selama kurang lebih 10
tahun hidupnya. Piala itu berjejer di ruang yang lain, yang bersebelahan dengan
ruang kami disambut. Aku tak sempat mengeceknya, mas Hamid-lah yang
berinisiatif melihat kesana. Aku duduk saja memperhatikan cerita ayah almarhum.
Ketika
SD, sekitar 6 tahun yang lalu ternyata almarhum menjadi Juara Umum dalam Thole
Genduk Ponorogo. Itu lho, ajang duta wisata untuk kaliber anak anak. Lomba itu
pun pastinya bergengsi sekali untuk kalangan anak waktu itu. Kesan “Ponorogo
Banget” , begitu yang aku rasakan.
Di
usianya yang ke – 17 ini, karena bakatnya yang begitu luar biasa dalam Tari
REOG, membuatnya dipasrahi tanggung jawab untuk mengajar tari di sanggar. Bukan
satu, tetapi beberapa sanggar yang ada di Ponorogo. Diketahui bahwa almarhum
memang handal untuk menari Warok, Ganongan, dan Klonosewandono. Ini berarti
almarhum menguasai 3 dari 5 tarian utama dari pertunjukan REOG. Dari yang diungkapkan
ayahnya, hidupnya tidak jauh jauh dari pagelaran seni ini.
Hingga
yang membuatku semakin terkesan adalah almarhum bersama tim Gajah Manggolo, SMA
1 Ponorogo mampu memboyong pulang Juara 1 dalam lomba Festival Reog Nasional
yang tentu kelasnya adalah Nasional.
Tidak
dipungkiri, dalam video saat tampilnya Gajah Manggolo pun begitu berbeda. “Rasa”
dari pertunjukan itu memang beda. Ragam geraknya pun berbeda. Hal ini tidak
mungkin bisa terwujud jika tidak adanya dedikasi yang begitu tinggi dari para
penari untuk menampilkan yang terbaik. Dan almarhum menjadi salah satu bagian
dari pertunjukan itu.
How cool is that!
Saat
bercerita tentang almarhum, sang Ibu pun mengambil sebuah tas yang isinya
adalah alat alat tulis, sebuah sketchbook dan beberapa buku tulis. Ternyata
ketika almarhum sakit, dia mengalihkan kejenuhan dengan menggambar dibuku buku
tadi. Alatnya pun biasa, sama yang biasa aku pakai bahkan sama dengan yang aku
beli di toko alat tulis umumnya. Tetapi, entah bagaimana bisa gambar gambar itu
bisa tercipta dari tangannya. Gambar yang bahkan aku bayangkan saja sudah susah,
apalagi mentransfernya menjadi sebuah objeknya nyata dalam kertas. Mungkin ini
yang namanya “anugrah bakat”.
He is so damn talented!
Sebelum
pembicaraan berakhir, ada cerita yang membuatku terharu.
Sang
Ibu bilang bahwa ketika almarhum akan dimakamkan, begitu banyak yang mengantar
almarhum menuju rumah terakhirnya.
Saat
itu, yang datang bukan hanya rekan satu kelasnya, tetapi rekan satu angkatan di
sekolahnya, SMA 1 Ponorogo.
Saat
itu, yang datang bukan hanya dari kawan SMA nya saja, tetapi rekan dari satu
SMP dengan dia yang berbeda sekolah.
Saat
itu, yang datang bukan hanya dari rekan yang dia kenal semasa sekolah, tetapi
juga orang yang mengenalnya lewat dunia tari, lewat sanggar yang dia ajar.
Saat
itu, begitu banyak yang mengingat almarhum, ketika almarhum pergi untuk
mengakhir perjalanan dan perjuangannya dalam dunia seni.
Saat
itu, begitu banyak orang yang memberikan penghormatan terhadap perjuangannya. Termasuk
penulis dalam tulisan ini.
Apa ya yang membuat sosok ini begitu
diingat hingga akhir hayatnya? pikirku.
Oh.
Mungkin
karena memang sosoknya lah yang begitu pantas untuk diingat.
Segala
keilmuannya tentang seni, bakatnya, prestasinya, memang pasti akan diingat
orang. Namun, hal yang menjadikannya begitu dicintai adalah karena
kesederhanaannya.
Mungkin.
Kemungkinan besar seperti itu, kesimpulanku.
Aku merasa,
Kotaku
ini kehilangan salah satu dari “bakal seniman hebat”nya
Kalian
yang melihat karya gambarnya pasti begitu menyayangkan kepergiannya. Bagaimana
mungkin orang seberbakat ini harus terlalu cepat waktunya hingga tak diberi
waktu lebih lama untuk berkarya?
Sungguh,
aku begitu menunggu akan karya besar dari orang ini.
Karena
sebelumnya, aku pun membicarakan tentang “keinginan untuk pencapaian” bersama
mas Najih. Iya, tepat sebelum berangkat melayat ini.
Bahasan
kami adalah seputar keresahan. Keresahan akan begitu kurangnya pilihan pilihan
karir, panutan, dan orang hebat di seputar Ponorogo yang bisa “disentuh” karena
dekat dengan kehidupan masyarakatnya. Hingga mas Najih pun menceritakan tentang
sosok mas Wisnu. Seorang seniman ASLI PONOROGO yang telah berkarir dalam dunia
seni, dihargai begitu mahal akan karyanya, dan melalang buana berkeliling
dunia.
Karena
SENI.
Sosok
ini, bagiku begitu mampu untuk menumbuhkan inspirasi kepada orang orang.
Terutama adalah kawula muda, yaitu dari sekitar SMP hingga SMA.
Karena
apa?
Yaa
karena mereka inilah yang harus “dipoles” untuk “diselamatkan” agar kemudian
mampu menjadi sebaik baiknya manusia dalam karir dan kesuksesan yang dia pilih.
Orang
orang yang besar dari “bawah” inilah yang nantinya menjadi magnet kuat untuk
mengispirasi. Karena mereka mengerti rasanya ada di “bawah”. Dan kita, butuh
inspirasi.
Dan yang
aku lihat dari almarhum,
Aku
melihat sebuah proses awal mekarnya seorang seniman besar dengan bakat luar
biasa yang dibawanya.
Orang
orang seperti inilah yang dibutuhkan, dicari, dan seharusnya dijaga agar
menular keberhasilannya kepada orang yang sedang “mencari” siapa dirinya.
Tetapi,
Entah
apa rencana Tuhan hingga akhirnya almarhum harus duluan pergi.
Khusnudzon-ku
:
Mungkin
rumahnya di surga sudah duluan jadi dan begitu merindukan yang memiliki rumah
itu.
Begitu,
kesimpulanku.
***
Tulisan ini ditulis sebagai sebuah penghormatan saya
terhadap bakat yang begitu luar biasa yang ada pada diri almarhum. Penghormatan
pula terhadap keluarga yang memiliki putra yang begitu membanggakan.
Penghormatan pula kepada Kakak yang begitu beruntung memiliki adik seperti
almarhum.
Saya yakin sekali bahwa orang orang yang berbakat
seperti almarhum itu banyak. Tersebar diberbagai penjuru. Namun, begitu
sayangnya orang orang ini kurang sekali di-ekspose. Tidak diketahui betapa menginspirasinya
orang orang ini. Berita yang terus terusan muncul hanyalah berita berita buruk
yang tidak membangun inspirasi bagi pembacanya namun justru mematikan optimisme
para pejuang yang berjuang menggapai apa yang dia yakini.
Tulisan saya ini bertujuan untuk mengajak anda
meng-ekspose orang orang yang menurut anda hebat, membanggakan karyanya, atau
masih dalam proses untuk menjadi hebat dengan segala potensinya.
Karena yang kita butuhkan bukanlah para peng-kritik,
pengeluh, pembohong yang bicaranya “terlihat” hebat.
Yang kita butuhkan adalah mereka yang dengan
sederhana, ikhlas, tulus, membangun sebuah kepantasan akan cita cita dan
impiannya dengan melakukan hal yang sudah dianugerahkan kepadanya.
Yang kemudian,
Menginspirasi kita untuk melakukan hal yang sama,
Bahkan
Berbuat lebih baik.
*Segelintir Karya dari Almarhum yang berhasil penulis himpun.
Ini belum seberapa dari seluruh karya gambarnya.



