Thursday, January 29

Kepergian Sang Bakal Maestro

0 comments
Berita itu datang membawa duka. Kemarin Rabu sore, sekitar jam 4.

Memang benar setiap hari kita berduka. Bahkan menit pun. Karena, di setiap menit itu pasti terdapat siapapun manusia yang telah meninggalkan dunia.

Pramudigdo Sony Rawatama.

Kesan yang baik sudah terpancar dari namanya. Terdengar gagah, anggun, kuat. Tetapi dari yang aku tahu, dia adalah orang yang tenang.

Sebenarnya aku tidak begitu mengenalnya. Bahkan ketika namanya disebut dan fotonya ditunjukkan dalam grub LINE, aku masih belum mengenalinya. Hingga akhirnya ada nama yang mengingatkan, Denik. Adik dari Denik. Sahabat dari adikku, Wahyu Chyntia (Tia), teman dalam perjuanganku melakoni Seni Pertunjukan REOG Ponorogo di Jogja.

Ahh... Ingat aku sekarang.

Denik ini pernah mengungkit nama ini dalam perbincanganku dengannya. Tepatnya adalah saat dimana kami beserta teman teman Manggolo Mudho mempersiapkan pertunjukan kami untuk tampil di ISI Jogja. Yang paling meninggalkan bekas diingatanku adalah dia adalah seorang penari yang ikut dan membawa SMA 1 Ponorogo menjuarai FRN 2014 kemarin. Kesan itu begitu ku ingat, mengingat ketidak berhasilan kami untuk memenangi kategori 10 Besar Penampil Terbaik. Dalam bayanganku, “ he such a good guy, of course

Tetapi, ternyata aku salah. Dia bukan seorang good guy.

He is a great man.

Indeed.

Singkat cerita, malamnya aku bertanya kepada salah satu seniorku di Manggolo Mudho, - sudah tahu berita duka ini apa belum – Oh ternyata sudah. Dan esok Kamisnya berniat untuk melayat. Aku pun segera mengiyakan untuk bergabung untuk ikut melayat, padahal malam itu aku masih di Jogja, menyelesaikan Ujian Akhir Semester 3 ku yang tinggal satu mata kuliah saja.

Singkat cerita, Kamis siang esoknya aku pun melesat ke kampung halaman. Hujan disepanjang jalan menuju Ponorogo membuatku sebal dan kelabakan. Untungnya, aku masih selamat.

Malamnya, aku bersama kawan Manggolo Mudho yang lain – Mas Najih, Mas Hamid, Mas Hafid, Mbak Novi, Mas Ijul, dan satu dari kawannya yang tak ku ketahui namanya – berangkat menuju rumah yang berduka. Rumahnya ada di daerah Tambakbayan Ponorogo. Tidak terlalu jauh dari pusat kota. Bahkan dekat dengan Alon Alon. Jalan yang ternyata cukup sering aku lewati ketika pulang ke Ponorogo.

Kami datang pukul 9 malam. Emmm ... Agak sedikit canggung dan kurang enak malam malam berkunjung, tetapi ini terjadi karena Denik sendirilah yang meminta kami untuk datang sedikit lebih malam, karena saat jam sebelumnya, masih dilaksanakan Yasinan untuk almarhum. Toh, kami pun kumpulnya telat dari yang disepakati. Di grub BBM jelas tertulis untuk berkumpul jam 6, eh, apa daya baru bisa kumpul jam 8 malam. Molor 2 jam. Aku fikir, inilah salah satu “kelebihan” dari orang Indonesia, yaitu sifat “toleransi”nya yang amat tinggi. Tapi tak apalah, untuk saja rencana berkunjung masih bisa terlaksana.

Ketika kami datang, terop terop dan jajaran kursi plastik masih ada ditempatnya. Sebagian lagi sudah ditata rapi berjejer keatas disalah satu sudut. Kesan yang pertama muncul adalah : sederhana. Tidak ada yang pernah aku ketahui lebih dari itu, tidak sebelum perbincangan satu jam yang mengubah kesanku kepada almarhum.

Bagian ruang tamu rumahnya digelar karpet merah, tanda bahwa benar telah habis Yasinan dirumah tersebut. Bapak bapak yang masih ada disekujur bagian rumah pun juga menegaskan kesan itu. Ayah dan Ibu almarhum duduk ditengah ruangan, tengah berbicara dengan para tamu tamu yang sudah cukup sepuh. Kami pun mengucap permisi dan menyalami semua yang ada diruang tamu itu, Denik belum ada disana, entah mungkin masih didalam. Selesai bersalaman, kami pun menepi kesisi yang lain, berjajar bertujuh. Rapi.

Entah benar atau tidak ruang itu adalah ruang tamu atau bukan, karena begitu banyak berkas berkas yang tersusun dalam lemari di satu sudut yang lain. Aku fikir ruang ini juga menjadi ruang kerja bagi keluarga almarhum.

Yang jelas, kesedihan masih begitu menyelimuti keluarga. Raut yang masih murung dari ayah dan ibu, masih terlihat “terlalu” jelas bagiku. Entah ini benar atau hanya sekedar duga duga saja. Hingga akhirnya Denik keluar, menyalami kami satu persatu dan “ Mas, maafin adekku yaa kalo ada salah neng sampeyan “. Aku hanya bisa tersenyum, menjabat tangannya dan mengiyakan.

Duh. Padahal, aku bertemu dengan almarhum saja belum pernah.

Setelah kedua tamu yang berbincang dengan kedua orang tua almarhum undur diri, percakapan pun akhirnya berpindah bola.

Seperti layaknya melayat, perbincangan pasti seputar almarhum. Kapan dimakamkan, kapan tepatnya diketahui kalau almarhum sakit, sakit apa, dan lain sebagainya. Cerita cerita singkat seputar almarhumlah yang membuatku menulis tulisan ini.

Sejak SD, darah seni sudah mengalir dalam nadinya. Bakat menggambar dan menarilah yang begitu menonjol dari almarhum. Dari umur masih kinyis kinyis hingga akhir perjuangan hayatnya, seni adalah dirinya. Begitu banyak prestasi yang almarhum torehkan selama kurang lebih 10 tahun hidupnya. Piala itu berjejer di ruang yang lain, yang bersebelahan dengan ruang kami disambut. Aku tak sempat mengeceknya, mas Hamid-lah yang berinisiatif melihat kesana. Aku duduk saja memperhatikan cerita ayah almarhum.

Ketika SD, sekitar 6 tahun yang lalu ternyata almarhum menjadi Juara Umum dalam Thole Genduk Ponorogo. Itu lho, ajang duta wisata untuk kaliber anak anak. Lomba itu pun pastinya bergengsi sekali untuk kalangan anak waktu itu. Kesan “Ponorogo Banget” , begitu yang aku rasakan.

Di usianya yang ke – 17 ini, karena bakatnya yang begitu luar biasa dalam Tari REOG, membuatnya dipasrahi tanggung jawab untuk mengajar tari di sanggar. Bukan satu, tetapi beberapa sanggar yang ada di Ponorogo. Diketahui bahwa almarhum memang handal untuk menari Warok, Ganongan, dan Klonosewandono. Ini berarti almarhum menguasai 3 dari 5 tarian utama dari pertunjukan REOG. Dari yang diungkapkan ayahnya, hidupnya tidak jauh jauh dari pagelaran seni ini.

Hingga yang membuatku semakin terkesan adalah almarhum bersama tim Gajah Manggolo, SMA 1 Ponorogo mampu memboyong pulang Juara 1 dalam lomba Festival Reog Nasional yang tentu kelasnya adalah Nasional.

Tidak dipungkiri, dalam video saat tampilnya Gajah Manggolo pun begitu berbeda. “Rasa” dari pertunjukan itu memang beda. Ragam geraknya pun berbeda. Hal ini tidak mungkin bisa terwujud jika tidak adanya dedikasi yang begitu tinggi dari para penari untuk menampilkan yang terbaik. Dan almarhum menjadi salah satu bagian dari pertunjukan itu.

How cool is that!

Saat bercerita tentang almarhum, sang Ibu pun mengambil sebuah tas yang isinya adalah alat alat tulis, sebuah sketchbook dan beberapa buku tulis. Ternyata ketika almarhum sakit, dia mengalihkan kejenuhan dengan menggambar dibuku buku tadi. Alatnya pun biasa, sama yang biasa aku pakai bahkan sama dengan yang aku beli di toko alat tulis umumnya. Tetapi, entah bagaimana bisa gambar gambar itu bisa tercipta dari tangannya. Gambar yang bahkan aku bayangkan saja sudah susah, apalagi mentransfernya menjadi sebuah objeknya nyata dalam kertas. Mungkin ini yang namanya “anugrah bakat”.

He is so damn talented!

Sebelum pembicaraan berakhir, ada cerita yang membuatku terharu.

Sang Ibu bilang bahwa ketika almarhum akan dimakamkan, begitu banyak yang mengantar almarhum menuju rumah terakhirnya.

Saat itu, yang datang bukan hanya rekan satu kelasnya, tetapi rekan satu angkatan di sekolahnya, SMA 1 Ponorogo.

Saat itu, yang datang bukan hanya dari kawan SMA nya saja, tetapi rekan dari satu SMP dengan dia yang berbeda sekolah.

Saat itu, yang datang bukan hanya dari rekan yang dia kenal semasa sekolah, tetapi juga orang yang mengenalnya lewat dunia tari, lewat sanggar yang dia ajar.

Saat itu, begitu banyak yang mengingat almarhum, ketika almarhum pergi untuk mengakhir perjalanan dan perjuangannya dalam dunia seni.

Saat itu, begitu banyak orang yang memberikan penghormatan terhadap perjuangannya. Termasuk penulis dalam tulisan ini.


Apa ya yang membuat sosok ini begitu diingat hingga akhir hayatnya? pikirku.

Oh.

Mungkin karena memang sosoknya lah yang begitu pantas untuk diingat.

Segala keilmuannya tentang seni, bakatnya, prestasinya, memang pasti akan diingat orang. Namun, hal yang menjadikannya begitu dicintai adalah karena kesederhanaannya.

Mungkin. Kemungkinan besar seperti itu, kesimpulanku.

Aku merasa,

Kotaku ini kehilangan salah satu dari “bakal seniman hebat”nya

Kalian yang melihat karya gambarnya pasti begitu menyayangkan kepergiannya. Bagaimana mungkin orang seberbakat ini harus terlalu cepat waktunya hingga tak diberi waktu lebih lama untuk berkarya?

Sungguh, aku begitu menunggu akan karya besar dari orang ini.

Karena sebelumnya, aku pun membicarakan tentang “keinginan untuk pencapaian” bersama mas Najih. Iya, tepat sebelum berangkat melayat ini.

Bahasan kami adalah seputar keresahan. Keresahan akan begitu kurangnya pilihan pilihan karir, panutan, dan orang hebat di seputar Ponorogo yang bisa “disentuh” karena dekat dengan kehidupan masyarakatnya. Hingga mas Najih pun menceritakan tentang sosok mas Wisnu. Seorang seniman ASLI PONOROGO yang telah berkarir dalam dunia seni, dihargai begitu mahal akan karyanya, dan melalang buana berkeliling dunia.

Karena SENI.

Sosok ini, bagiku begitu mampu untuk menumbuhkan inspirasi kepada orang orang. Terutama adalah kawula muda, yaitu dari sekitar SMP hingga SMA.

Karena apa?

Yaa karena mereka inilah yang harus “dipoles” untuk “diselamatkan” agar kemudian mampu menjadi sebaik baiknya manusia dalam karir dan kesuksesan yang dia pilih.

Orang orang yang besar dari “bawah” inilah yang nantinya menjadi magnet kuat untuk mengispirasi. Karena mereka mengerti rasanya ada di “bawah”. Dan kita, butuh inspirasi.

Dan yang aku lihat dari almarhum,

Aku melihat sebuah proses awal mekarnya seorang seniman besar dengan bakat luar biasa yang dibawanya.

Orang orang seperti inilah yang dibutuhkan, dicari, dan seharusnya dijaga agar menular keberhasilannya kepada orang yang sedang “mencari” siapa dirinya.

Tetapi,

Entah apa rencana Tuhan hingga akhirnya almarhum harus duluan pergi.
Khusnudzon-ku :

Mungkin rumahnya di surga sudah duluan jadi dan begitu merindukan yang memiliki rumah itu.

Begitu, kesimpulanku.

***

Tulisan ini ditulis sebagai sebuah penghormatan saya terhadap bakat yang begitu luar biasa yang ada pada diri almarhum. Penghormatan pula terhadap keluarga yang memiliki putra yang begitu membanggakan. Penghormatan pula kepada Kakak yang begitu beruntung memiliki adik seperti almarhum.

Saya yakin sekali bahwa orang orang yang berbakat seperti almarhum itu banyak. Tersebar diberbagai penjuru. Namun, begitu sayangnya orang orang ini kurang sekali di-ekspose. Tidak diketahui betapa menginspirasinya orang orang ini. Berita yang terus terusan muncul hanyalah berita berita buruk yang tidak membangun inspirasi bagi pembacanya namun justru mematikan optimisme para pejuang yang berjuang menggapai apa yang dia yakini.

Tulisan saya ini bertujuan untuk mengajak anda meng-ekspose orang orang yang menurut anda hebat, membanggakan karyanya, atau masih dalam proses untuk menjadi hebat dengan segala potensinya.

Karena yang kita butuhkan bukanlah para peng-kritik, pengeluh, pembohong yang bicaranya “terlihat” hebat.

Yang kita butuhkan adalah mereka yang dengan sederhana, ikhlas, tulus, membangun sebuah kepantasan akan cita cita dan impiannya dengan melakukan hal yang sudah dianugerahkan kepadanya.

Yang kemudian,

Menginspirasi kita untuk melakukan hal yang sama,

Bahkan

Berbuat lebih baik.




*Segelintir Karya dari Almarhum yang berhasil penulis himpun.
Ini belum seberapa dari seluruh karya gambarnya.

Leave a Reply