Tuesday, January 14

to become ..... (part 2 - END)

0 comments
Hmmm..

Ngomongin tentang sakit. Bokap gue barusan opname masuk rumah sakit. Masuk ICCU tepatnya.

Gak tahu sih kenapa kok tiba tiba banget bisa masuk ICCU gitu, padahal baru tadi paginya temen temen bokap pada mampir kerumah. Yaa walaupun sebelumnya beliau memang mengeluh dada bagian kirinya nyeri sih, yaa kami kira itu adalah masuk angin biasa. Dan setelah di bekam, hitam banget memang.

Jam setengah 6, ketika gue masih nonton Habibie Ainun dan lagi dalam keadaan yang emosional banget. Bokap Nyokap pamit ke rumah sakit untuk periksa. Lamaa kok belum pulang juga sampai jam setengah 7, nyokap telfon kalo bokap jadinya opname.

Gue pun diminta untuk juga ikut jenguk setelah Isya’ sama adek gue, Ajeng.

Ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama gue gak pernah masuk rumah sakit lagi. Lamaaa banget. Bahkan lebih lama daripada gue memulai untuk mengubur mimpi gue untuk menjadi seorang dokter.

Dan disini. Ya, disini semua itu dimulai. Perjalanan rewind.

Bokap dirawat di RS Aisyah Diponegoro. Awalnya beliau datang ke RS Aisyah tapi karena dokternya lagi gak ada, jadinya disuruh periksa disana RSAD.

Gue pun masuk dari pintu depan yang dibagi jadi 2. Pintu yang satu adalah untuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan pintu yang lain adalah untuk para pengunjung dan penjenguk orang orang yang sakit disana.

Masuk disana, ada lorong yang berbelok. Tepat setelah lorong itu ada “ruangan tengah” dimana para penjenguk lain berkumpul untuk bersantai menonton TV. Lebih masuk lagi, barulah gue bertemu dengan ruangan ruangan tempat para orang orang yang diopname. Blok ruangan pertama bisa dibilang besar. Kurang lebih ada 6 ruangan yang dalam setiap ruang itu dihuni oleh 3 atau 4 pasien yang opname. Para sanak kerabat yang menjenguk pun berceceran diemperan ruangan untuk sekedar duduk karena penuh. Memang saat itu sedang ada beberapa renovasi. Disana, gue melihat wajah wajah dengan nuansa yang berbeda. Ada yang masih lesu, ada yang baru bisa menggerakkan sedikit anggota badannya, ada yang sudah bisa ngobrol dengan lancar, dan sebagainya.

Ya, mereka inilah dulu yang menjadi motivasi gue untuk menjadi dokter. Fakta bahwa masih banyak orang yang harus ditolong oleh seorang dokter-lah yang membuat gue tetap kukuh ingin menjadi dokter. Dan jika melihat keadaanku sekarang, ada rasa sakit. Seperti, luka yang dibalut agar tidak disentuh dan menunggu untuk ia sembuh, namun dibuka ketika masih dalam masa penyembuhan.

Kalian yang mengerti pasti mengerti, dan kalian yang tidak mengerti pasti juga tidak mengerti.

Masuk lagi ketempat yang lebih kecil dari sebelumnya, terdengar suara bayi yang menangis disalah satu ruangan yang lebih kecil namun dihuni oleh maksimal 2 pasien opname. Pintunya tertutup, gue gak tau gimana keadaan mereka didalam sana. Mungkin itu adalah salah satu adek kecil yang kena sakit yang belum seharusnya diusianya yang masih balita.

Dan ruang ICCU, ada dilantai atas. Jalan menuju lantai atas bukanlah tangga pada umumnya, melainkan jalan yang landai. Jalan yang digunakan agar memudahkan untuk mengantar pasien turun dari lantai atas ke lantai bawah dengan menggunakan kursi roda maupun ranjang yang beroda yang biasa kita lihat. Ruang ICCU itu ada disalah satu pojok diareal lantai 2 itu. Disana ternyata ada kerabat dari orang yang masuk ICCU juga. Mereka duduk lesehan dengan alas tikar didepan ruang ICCU sambil berbincang bincang dalam bahasa Jawa yang lebih sopan. Bahasa yang biasa digunakan anak muda untuk berbicara dengan orang yang lebih tua.

Nyokap gue disana duduk disalah satu tempat duduk yang berjejer. Beliau berdiri ketika melihat gue datang bersama adik gue dan tetangga gue.

Duduk ditempat yang sama, gue pun berusaha mencari tahu kenapa bisa bokap sampai harus masuk ICCU. Jawabannya masih hanya sekedar bokap kecapaian.

Nyokap pun niatannya mau pulang dulu untuk mandi dan shalat, gue pun dimintai untuk menunggu disana kalau ada apa apa, kalau dipanggil oleh suster. Dan gue pun mengiyakan.

Nyokap pun akhinya meninggalkan ruangan tunggu itu, sekarang tinggal gue berdua dengan adik gue. Tak lama berselang, suster pun keluar “maaf, dengan keluarga bapak Pujo?” tanyannya dari depan pintu. Gue berdiri, “iya, saya mbak”. “Ibunya kemana?” tanya suster itu sambil menyapu pandangan keruang tunggu itu mencari nyokap gue. “tadi pulang sebentar mbak. Mandi. Trus nanti mbalik  kesini kok”. “masnya ini putranya?”, gue mengiyakan. Dan akhirnya gue disuruh masuk ruang itu.

Itu adalah pertama kalinya dalam sejarah 18 tahun gue hidup, untuk masuk keruang itu. Dan gue gak pernah membayangkan kalau akan masuk keruang “special” itu sekarang. Didalam ruang ICCU itu, tersedia 4 tempat tidur dengan segala macam peralatannya. Dan juga, kabel kabel. Yang sama dengan yang gue lihat sewaktu nonton film Habibie Ainun. Dihadapan tempat tidur itu ada 2 meja bekerja para suster, dokter ataupun penjaga ruang itu. gue pun dipersilakan duduk. Suster ini mengawali penjelasan dengan menjelaskan tentang peraturan di ICCU. Beda peraturannya adalah pada jadwal berkunjung penjenguk. Dimana jadwal untuk penjenguk sangat dibatasi ketat. Hanya boleh sewaktu jam 6-7 pagi, 11-12 siang, dan 17-18 sore.

Tiba tiba nyokap masuk. Gue nggak tahu apakah beliau udah pulang dan sesegera mungkin kembali ataupun malah belum sempat pulang. Gue pun akhirnya mendengarkan penjelasan bareng nyokap. Lalu, kami diminta untuk menanda tangani surat yang berkaitan dengan penanganan emergency. Penanganan ini dilakukan apabila pasien mengalami keadaan emergency atau darurat dan harus diberikan pertolongan cepat, tanggap, dan tepat. Seperti kejut jantung, penggunaan pipa nafas dan lainnya. Kami pun setuju saja.

Penjelasan penjelasan selanjutnya gue pun kurang mengikuti lagi karena udah ada nyokap. Gue pun melakukan hal lain.

Gue memandangi kesetiap senti ruangan itu dengan detil. Gue memandangi segala peralatan yang buat gue keren banget. gue memandang kearah belakang suster yang sedang menjelaskan peraturan ke nyokap yang mana ternyata disana ada ruangan lagi. Ruangan itu berisikan 4 tempat tidur juga yang digunakan untuk pasien ICCU. Namun saat itu hanya ada 3 pasien termasuk bokap. Gue memandang kesalah satu dinding yang disana ada stetoskop yang digantung. Gue memandang kesalah satu lemari yang isinya dipenuhi oleh infus infus dan obat obat lain yang gue gak ngerti untuk apa. Dan pandangan gue berakhir pada salah satu ruangan yang disana berjejer lemari tempat “kantor” bagi para dokter-suster ini menyimpan segala berkas.

Terakhir dari yang terakhir, pandangan gue kembali pada wanita yang menjelaskan peraturan dan hal penting tentang ICCU. Saat ini, gue sangat mengagumi beliau. Gue gak peduli darimana dulu dia kuliah. Yang aku lihat sekarang ini adalah seorang dokter yang menjalankan tugasnya untuk menolong orang yang sungguh membutuhkan pertolongannya.

Gue melihat beliau sebagai diriku yang mencapai mimpinya. Aku melihat beliau sebagai diriku yang mampu menjadi seorang dokter. Aku melihat, aku yang memenuhi impianku sebagai dokter.

Tapi….

Setelah melihat kekondisi saat ini? Don’t say a word.

Sekuat tenaga, gue menahan air mata ini. Sekuat tenaga, gue berusaha ikhlas akan kenangan ketika gue berusaha memperjuangkan impian gue.

Sekuat tenaga, gue harus menerima “gue” yang sekarang adalah bukan “impian gue”.

Sekuat tenaga, gue harus menerima bahwa, gue bukanlah calon Dokter.

Ketika keluar dari ruangan itu, gue sedih. Terasa sekali akan pecah kepala gue kalau gue terus memaksakan untuk tidak mengeluarkannya.

Sendiri, gue berusaha menenangkan diri. Sendiri, gue menghadapi rasa luka yang belum sembuh ini.


Sendiri, gue meneteskan air mata.

Gue pun juga gak mau adek dan nyokap gue tau kalo gue nangis. Memang, kelihatan sangat cengeng.

But you guys, just don’t know anything. And I don’t care about what you thought.

It’s just so …. hurt.

More than anything.

......

Haha. Mata gue pun berkaca kaca nulis ini. Nggak tau kenapa. Sedih aja rasanya.

Dan hingga saat ini gue masih belum mengerti kenapa Tuhan mempertemukan gue dengan moment ini.

Yang ada, muncul satu niatan yang baru.

Kalaupun aku gak bisa jadi dokter untuk hal medis ini. Masih ada kesempatan buat aku untuk jadi “dokter” dibidang kejiwaan.

To become …



 a Psychiatrist




“ … engkau melihat kecermin. Berharap pantulan cermin itu memantulkan hal yg lebih baik dari dirimu.
Padahal dirimu, adalah dirimu … “

Leave a Reply