Hmmm..
Ngomongin tentang sakit. Bokap
gue barusan opname masuk rumah sakit. Masuk ICCU tepatnya.
Gak tahu sih kenapa kok tiba
tiba banget bisa masuk ICCU gitu, padahal baru tadi paginya temen temen bokap
pada mampir kerumah. Yaa walaupun sebelumnya beliau memang mengeluh dada bagian
kirinya nyeri sih, yaa kami kira itu adalah masuk angin biasa. Dan setelah di
bekam, hitam banget memang.
Jam setengah 6, ketika gue
masih nonton Habibie Ainun dan lagi dalam keadaan yang emosional banget. Bokap
Nyokap pamit ke rumah sakit untuk periksa. Lamaa kok belum pulang juga sampai
jam setengah 7, nyokap telfon kalo bokap jadinya opname.
Gue pun diminta untuk juga
ikut jenguk setelah Isya’ sama adek gue, Ajeng.
Ini adalah pertama kalinya
setelah sekian lama gue gak pernah masuk rumah sakit lagi. Lamaaa banget.
Bahkan lebih lama daripada gue memulai untuk mengubur mimpi gue untuk menjadi
seorang dokter.
Dan disini. Ya, disini semua
itu dimulai. Perjalanan rewind.
Bokap dirawat di RS Aisyah
Diponegoro. Awalnya beliau datang ke RS Aisyah tapi karena dokternya lagi gak
ada, jadinya disuruh periksa disana RSAD.
Gue pun masuk dari pintu depan
yang dibagi jadi 2. Pintu yang satu adalah untuk Instalasi Gawat Darurat (IGD)
dan pintu yang lain adalah untuk para pengunjung dan penjenguk orang orang yang
sakit disana.
Masuk disana, ada lorong yang
berbelok. Tepat setelah lorong itu ada “ruangan tengah” dimana para penjenguk
lain berkumpul untuk bersantai menonton TV. Lebih masuk lagi, barulah gue
bertemu dengan ruangan ruangan tempat para orang orang yang diopname. Blok ruangan
pertama bisa dibilang besar. Kurang lebih ada 6 ruangan yang dalam setiap ruang
itu dihuni oleh 3 atau 4 pasien yang opname. Para sanak kerabat yang menjenguk
pun berceceran diemperan ruangan untuk sekedar duduk karena penuh. Memang saat
itu sedang ada beberapa renovasi. Disana, gue melihat wajah wajah dengan nuansa
yang berbeda. Ada yang masih lesu, ada yang baru bisa menggerakkan sedikit
anggota badannya, ada yang sudah bisa ngobrol dengan lancar, dan sebagainya.
Ya, mereka inilah dulu yang
menjadi motivasi gue untuk menjadi dokter. Fakta bahwa masih banyak orang yang
harus ditolong oleh seorang dokter-lah yang membuat gue tetap kukuh ingin
menjadi dokter. Dan jika melihat keadaanku sekarang, ada rasa sakit. Seperti, luka
yang dibalut agar tidak disentuh dan menunggu untuk ia sembuh, namun dibuka
ketika masih dalam masa penyembuhan.
Kalian yang mengerti pasti
mengerti, dan kalian yang tidak mengerti pasti juga tidak mengerti.
Masuk lagi ketempat yang lebih
kecil dari sebelumnya, terdengar suara bayi yang menangis disalah satu ruangan
yang lebih kecil namun dihuni oleh maksimal 2 pasien opname. Pintunya tertutup,
gue gak tau gimana keadaan mereka didalam sana. Mungkin itu adalah salah satu
adek kecil yang kena sakit yang belum seharusnya diusianya yang masih balita.
Dan ruang ICCU, ada dilantai
atas. Jalan menuju lantai atas bukanlah tangga pada umumnya, melainkan jalan
yang landai. Jalan yang digunakan agar memudahkan untuk mengantar pasien turun
dari lantai atas ke lantai bawah dengan menggunakan kursi roda maupun ranjang
yang beroda yang biasa kita lihat. Ruang ICCU itu ada disalah satu pojok
diareal lantai 2 itu. Disana ternyata ada kerabat dari orang yang masuk ICCU
juga. Mereka duduk lesehan dengan
alas tikar didepan ruang ICCU sambil berbincang bincang dalam bahasa Jawa yang
lebih sopan. Bahasa yang biasa digunakan anak muda untuk berbicara dengan orang
yang lebih tua.
Nyokap gue disana duduk
disalah satu tempat duduk yang berjejer. Beliau berdiri ketika melihat gue
datang bersama adik gue dan tetangga gue.
Duduk ditempat yang sama, gue
pun berusaha mencari tahu kenapa bisa bokap sampai harus masuk ICCU. Jawabannya
masih hanya sekedar bokap kecapaian.
Nyokap pun niatannya mau
pulang dulu untuk mandi dan shalat, gue pun dimintai untuk menunggu disana
kalau ada apa apa, kalau dipanggil oleh suster. Dan gue pun mengiyakan.
Nyokap pun akhinya
meninggalkan ruangan tunggu itu, sekarang tinggal gue berdua dengan adik gue.
Tak lama berselang, suster pun keluar “maaf, dengan keluarga bapak Pujo?”
tanyannya dari depan pintu. Gue berdiri, “iya, saya mbak”. “Ibunya kemana?”
tanya suster itu sambil menyapu pandangan keruang tunggu itu mencari nyokap gue.
“tadi pulang sebentar mbak. Mandi. Trus nanti mbalik kesini kok”. “masnya
ini putranya?”, gue mengiyakan. Dan akhirnya gue disuruh masuk ruang itu.
Itu adalah pertama kalinya
dalam sejarah 18 tahun gue hidup, untuk masuk keruang itu. Dan gue gak pernah
membayangkan kalau akan masuk keruang “special” itu sekarang. Didalam ruang
ICCU itu, tersedia 4 tempat tidur dengan segala macam peralatannya. Dan juga, kabel
kabel. Yang sama dengan yang gue lihat sewaktu nonton film Habibie Ainun. Dihadapan
tempat tidur itu ada 2 meja bekerja para suster, dokter ataupun penjaga ruang
itu. gue pun dipersilakan duduk. Suster ini mengawali penjelasan dengan
menjelaskan tentang peraturan di ICCU. Beda peraturannya adalah pada jadwal
berkunjung penjenguk. Dimana jadwal untuk penjenguk sangat dibatasi ketat. Hanya
boleh sewaktu jam 6-7 pagi, 11-12 siang, dan 17-18 sore.
Tiba tiba nyokap masuk. Gue
nggak tahu apakah beliau udah pulang dan sesegera mungkin kembali ataupun malah
belum sempat pulang. Gue pun akhirnya mendengarkan penjelasan bareng nyokap. Lalu,
kami diminta untuk menanda tangani surat yang berkaitan dengan penanganan emergency. Penanganan ini dilakukan
apabila pasien mengalami keadaan emergency
atau darurat dan harus diberikan pertolongan cepat, tanggap, dan tepat. Seperti
kejut jantung, penggunaan pipa nafas dan lainnya. Kami pun setuju saja.
Penjelasan penjelasan
selanjutnya gue pun kurang mengikuti lagi karena udah ada nyokap. Gue pun
melakukan hal lain.
Gue memandangi kesetiap senti
ruangan itu dengan detil. Gue memandangi segala peralatan yang buat gue keren
banget. gue memandang kearah belakang suster yang sedang menjelaskan peraturan
ke nyokap yang mana ternyata disana ada ruangan lagi. Ruangan itu berisikan 4
tempat tidur juga yang digunakan untuk pasien ICCU. Namun saat itu hanya ada 3
pasien termasuk bokap. Gue memandang kesalah satu dinding yang disana ada
stetoskop yang digantung. Gue memandang kesalah satu lemari yang isinya
dipenuhi oleh infus infus dan obat obat lain yang gue gak ngerti untuk apa. Dan
pandangan gue berakhir pada salah satu ruangan yang disana berjejer lemari
tempat “kantor” bagi para dokter-suster ini menyimpan segala berkas.
Terakhir dari yang terakhir,
pandangan gue kembali pada wanita yang menjelaskan peraturan dan hal penting
tentang ICCU. Saat ini, gue sangat mengagumi beliau. Gue gak peduli darimana
dulu dia kuliah. Yang aku lihat sekarang ini adalah seorang dokter yang
menjalankan tugasnya untuk menolong orang yang sungguh membutuhkan
pertolongannya.
Gue melihat beliau sebagai
diriku yang mencapai mimpinya. Aku melihat beliau sebagai diriku yang mampu
menjadi seorang dokter. Aku melihat, aku yang memenuhi impianku sebagai dokter.
Tapi….
Setelah melihat kekondisi saat
ini? Don’t say a word.
Sekuat tenaga, gue menahan air
mata ini. Sekuat tenaga, gue berusaha ikhlas akan kenangan ketika gue berusaha
memperjuangkan impian gue.
Sekuat tenaga, gue harus
menerima “gue” yang sekarang adalah bukan “impian gue”.
Sekuat tenaga, gue harus
menerima bahwa, gue bukanlah calon Dokter.
Ketika keluar dari ruangan
itu, gue sedih. Terasa sekali akan pecah kepala gue kalau gue terus memaksakan
untuk tidak mengeluarkannya.
Sendiri, gue berusaha
menenangkan diri. Sendiri, gue menghadapi rasa luka yang belum sembuh ini.
Sendiri, gue meneteskan air
mata.
Gue pun juga gak mau adek dan
nyokap gue tau kalo gue nangis. Memang, kelihatan sangat cengeng.
But you guys, just don’t know anything. And I don’t care about what you
thought.
It’s just so …. hurt.
More than anything.
......
Haha. Mata gue pun berkaca
kaca nulis ini. Nggak tau kenapa. Sedih aja rasanya.
Dan hingga saat ini gue masih
belum mengerti kenapa Tuhan mempertemukan gue dengan moment ini.
Yang ada, muncul satu niatan
yang baru.
“Kalaupun aku gak bisa jadi dokter untuk hal medis ini. Masih ada
kesempatan buat aku untuk jadi “dokter” dibidang kejiwaan.
To become …
a Psychiatrist
“ … engkau melihat kecermin.
Berharap pantulan cermin itu memantulkan hal yg lebih baik dari dirimu.
Padahal
dirimu, adalah dirimu … “
