Yah.
Seperti inilah aku setelah menonton film.
“terinspirasi”
Ada
hal yang membuatku begitu tidak bisa tenang dan berusaha menunjukkan serta
menyampaikan pesan. Biasanya, pesan akan rasa iri, galau, dan perasaan yang
lumayan alay. Memang.
Tetapi,
Aku
benar benar tidak bisa menahannya. Aku ingin dunia tahu perasaan ini.
Perasaanku,
yang aku alami sekarang.
Karena,
film yang berusan aku tonton, benar benar mampu menyampaikan pesan padaku.
Judulnya
“ The Teacher’s Diary” atau Khid thueng withaya. Aha~ Another Thailand movie.
Seperti yang sudah aku pernah tulis dalam tulisan yang lain, film Thailand
sekarang menjadi salah satu favorit film bagiku. Ringan, sederhana, “dekat”,
dan menyentuh. Sensasi lucu pun juga tidak ketinggalan.
Film
ini menceritakan tentang seorang guru, Pak Song yang ketika melamar kerja untuk
menjadi seorang guru tetap malah dipindahkan oleh Kepala Sekolahnya ke Sekolah
Rumah Kapal. Disekolah tersebut dia menemukan sebuah diary milik guru
sebelumnya yang pernah mengajarnya disana. Nama guru itu adalah Bu Ann.
Berdedikasi mengajar yang tinggi dan tidak lupa ... cantik. Pak Song pun yang
awalnya kebingungan mengajar anak anak di Rumah Kapal yang terpinggirkan jauh
dari tengah kota, menggunakan buku diary itu sebagai panduannya untuk mengajar
anak anak disana. Disaat yang sama, Pak Song pun mengagumi sosok Bu Ann yang
mampu menjadikan anak anak Rumah Kapal selalu membicarakan dirinya. Diam diam,
Pak Song menaruh hati disana. Dan mungkin, jatuh hati padanya. Dimulailah
kemudian kisah cinta dan kisah pengabdian seorang guru yang mengajar untuk
murid dibagian pelosok yang penuh dengan haru dan candaan ringan.
Sedikit
spoiler, gue akan cerita tentang best
scene favorit gue.
Yaitu
adalah saat Chon, salah satu murid di Rumah Kapal yang sudah kelas 6 menghadapi
ujian semesternya, namun gagal karena dia tidak mampu mengerjakan soalnya.
Bukan karena tidak bisa, tetapi karena dia kekurangan waktu. Disana digambarkan
adegan ketika Chon masih mengerjakan soalnya, sendirian, karena yang lain sudah
selesai, dan seorang ibu guru menunggu disampingnya. Kemudian, diambil secara
paksa secarik kertas ujiannya yang belum selesai. Ketika perjalanan pulang,
Chon pun bercerita tentang hal itu.
Dan
guru Song, datang memeluknya sebagai ayah,
Dan sebagai
sahabat.
Bresssss...
air dimata ini sudah gak bisa lagi ditahan.
Disitu
Pak Song bilang, bahwa bukan Chon sebagai muridlah yang salah.
Tetapi
dia mengakui, belum menjadi seorang guru yang baik untuk Chon.
Mana ada guru yang seperti itu
sekarang?
Aku
sedikit sebal ya.. Cerita ini kok sepertinya ndak ada di film Indonesia. Atau memang
aku-nya saja yang tidak tahu ya..
Padahal,
cerita ini sungguh cocok menjadi cerita yang meng-inspirasi, bahwa guru itu bukanlah
cuman pekerjaan.
Guru
adalah seseorang yang mampu menjadi sahabat dan teladan bagi muridnya.
Guru
adalah seseorang yang mampu menjadi kawan bagi para muridnya.
Guru
adalah panggilan hati.
Anda
mungkin bisa menyampaikan materi, mengajari berhitung, mengajari seorang anak
kecil agar mampu membaca,
Tapi
guru, seharusnya lebih dari itu.
Guru
tidak selayaknya menyalahkan murid. Justru guru harus sadar bahwa dia belum
cukup baik untuk menjadi seorang guru.
Guru
bukanlah tentang ilmu yang ditukar
dengan uang, melainkan mengajarkan untuk bahagia dalam sesederhananya kehidupan
yang dijalani.
Tidak
ada yang lebih mulia selain guru.
Tidak
ada.
Saya
tidak akan menyalahkan siapapun yang tidak mampu untuk menjadi guru yang bagi
muridnya.
Karena
guru adalah panggilan hati. Hatimulah yang memilih.
Bukan
karena sadarnya pikiranmu akan uang yang dihasilkan dari mengajar kemudian.
Karena
itulah, kita tidak bisa mengharapkan seseorang untuk mampu menjadi guru yang
sebaik baiknya guru, dari orang “murahan”.
Karena
menjadi seorang guru itu ...
Mahal
Dan
anda tidak bisa mengharapkan hal yang mahal dari orang yang murahan.
Saya
akan menjadi seorang Guru, nanti.
