Tulisan
ini ditulis dengan ditemani hujan ala Jogja. Jika kalian bertanya seperti apa
bedanya, aku sarankan kalian langsung saja berkunjung ke Jogja. Ada rasa yang “spesial”
dalam taburan uap air yang tercipta ketika hujan jatuh menyentuh tanah Jogja.
Harum~
Selasa
besok, aku memasuki fase UTS, Ujian Tengah Semester. Siap tidak siap, aku harus
menghadapinya dengan baik. Banyak yang bilang, semester paling krusial adalah
semester 1 hingga semester 4, setelah itu semuanya bakal ngikut. Makanya, misi jarak dekat adalah berusaha menyelamatkan IP
hingga kesemester 4. Cum Laude.
Sedikit
cerita, kemarin aku bersama kawan seperjuangan Manggolo Mudho berhasil tampil
di Festival Reog Nasional tanggal 23 Oktober, 2 minggu yang lalu. Kami membawa
pulang piala Penghargaan Atas Pengabdian dan Pelestarian REOG. Tidak masuk 10
besar penampilan Terbaik memang, tetapi setidaknya kami pulang dengan tidak
membawa kekosongan piala. Aku senang, akhirnya kerja keras itu terbayar.
Setelah
itu, datanglah hal yang menjadi pelik masalah.
Aku
sadar benar apa jurusanku dan dimana aku menuntut ilmu sekarang. Di UII,
jurusan Hukum. Sekitar satu tahun yang lalu aku sudah memusatkan diri pada
Paduan Suara, sudah ikut lomba memang. Tetapi, kemudian aku sadar bahwa,
ketakutan “akan jadi apa aku nanti” semakin menghantui.
Seperti
yang semua sudah ketahui, jurusan Ilmu Hukum pastinya akan bekerja pada bidang
kehukuman. Hakim, Jaksa, dan Pengacara adalah pilihan paling dikejar.
Sayangnya,
semua itu bukanlah minat pekerjaanku. Bahkan aku takut dengan pekerjaan itu.
Aku
bukanlah orang yang kuat. Aku yang sekarang menjadi orang yang lebih pendiam,
introvert, dan lebih tidak tampak. Dikampus pun aku tidak memiliki kawan yang
begitu banyak, tidak dikenal oleh orang sebegitu luas.
Aku
berharap sekali lebih tahu bahwa aku akan menjadi seorang Psikolog, belajar di
jurusan Psikolog, dan memiliki kawan kawan dalam bidang Psikolog. Aku kurang
begitu mampu berada didepan, aku lebih memilih berada disamping atau
dibelakang. Menjadi orang yang diperintah. Menjadi orang yang mendengarkan.
Sekarang
ini aku susah sekali untuk berubah. Susah.
Aku
tahu seharusnya aku bisa menjadi orang yang lebih aktif lagi, tetapi entah
kenapa rasanya tidak bisa.
Aku
merasa bahwa jalanku bukanlah untuk menjadi 3 profesi diatas.
Dan
aku tidak memiliki seorang mentor pun untuk aku tanyai, untuk aku tiru.
Seperti,
aku membuat jalan yang benar benar baru. Menelusuri semak tinggi untuk membuat
jejak.
Aku
benar benar kehilangan motivasi diri. Aku yang sekarang menjadi orang yang
sangat sulit untuk peduli, tetapi keadaan terus memaksa.
Hingga
hal itu pun berubah menjadi tekanan yang aku tidak tahu cara memperbaikinya.
Rasanya ingin segera selesai saja.
Disini
pun aku melihat teman temanku yang dulu mulai “terbang” dengan “sayap” yang
mereka buat sendiri. Aku? Cuman terpaku melihat mereka terbang dan mengutuk
diri yang tak berani membuat kerangka sayap.
Aku
fikir, akan ada orang yang kemudian berpaling kearahku dan peduli. Kemudian
datang dan membantuku membuat kerangka itu.
Tapi,
Aku
fikir Tuhan menahan harapan itu tetap menggantung disana.
Akhirnya,
sekarang, aku tersesat.
Aku
benar benar tidak tahu pasti apa yang aku inginkan. Aku sebal melihat
kehidupanku yang tidak berkembang.
Tapi
aku tahu,
Kalau
bukan aku yang merubahnya, maka tidak akan ada satu pun perubahan yang terjadi.
Aku
tahu,
Itu
adalah firman Tuhan. Hanya saja akhir akhir ini aku begitu tidak menghormatiNya.
Akhir akhir ini aku banyak lupa padaNya.
Akhir
akhir ini,
Aku
tidak lagi percaya akan kasihNya.
Dan
dengan ini aku semakin dalam masuk kelubang yang gelap. Sepi. Sendiri.
Aku
tahu kehidupan ini tidak semudah yang ada dilayar lebar, tapi …
Apakah
benar benar tidak mungkin aku akan menemui pertolongan yang tulus akan dari
masalahku ini?
Aku
harap, ada teman yang mau membantuku. Tapi, siapa memangnya didunia ini orang
yang ingin susah?
Aku
harap, aku menjadi orang yang berani.
Aku
harap, aku tidak lagi menjadi orang yang abai.
Aku
harap, aku menjadi orang yang lebih bisa memegang janji.
Entah
ya… Apakah kerapuhanku ini adalah karena hati yang belum sembuh dari luka lukanya
dulu.
Atau
kah itu hanyalah alasan dan kambing hitamku agar aku membenarkan kelemahan yang
semakin mengakar dalam diri. Menguat. Kemudian menjadi pohon yang membawa
kegelapan. Entahlah.
Tapi,
mungkin memang begitu.
Ditinggalkan
dengan pengabaian, ditolak untuk orang yang lebih buruk dalam mencintai, dan
kemudian mencintai orang yang tidak jelas hatinya untuk siapa.
Apa
masih kurang aku ini mengalah?
Aku
fikir, bersyukur itu mudah. Tetapi ketika dunia berlaku setidak adil mungkin,
celah mana yang harus disyukuri? Aku butuh bantuan untuk melihatnya, sungguh.
Oh
Tuhanku yang juga Tuhan Mikail,
Ijinkan
aku untuk mendapat kesempatan lagi dan berikan keberanian untuk melakukan
kesempatan yang Engkau berikan.
Jagalah
aku dengan kasihMu
Aminn.
