14 Agustus 2012 pukul 08.05
Mengenaskan. Itu mungkin adalah hal dan kata yang cocok untuk menggambarkan kejadian pagi ini. Bukannya terjadi kecelakaan tragis ataupun terjadi bencana alam. Namun, lebih parah. Bencana kedisplinan dalam kinerja para “pekerja kabupaten”.
Diceritakan bahwa saat itu, penulis ingin mengambil KTP-nya dikantor kabupaten. 10 hari yang lalu penulis sudah memberikan syarat syarat yang dibutuhkan untuk membuat KTP. Seperti pas foto, surat dari Ketua RT, akta kelahiran yang telah dilegalisir, dan sebagainya. Semua sudah terpenuhi dan penulis diminta agar menunggu selama 10 hari masa pembuatan KTP. Entah apakah yang membuat membuatan KTP itu sedemikian lama, mungkin karena jumlah penduduk didaerah sini yang cukup besar dan peminat pembuat KTP pun membludak. Saya sebgai penulis ber-khusnudzon (berprasangaka baik) saja.
Namun bukan disitulah masalahnya. Masalahnya adalah disini, yang akan saya bahas sebentar lagi. Dan, ini dia.
Setelah 10 hari menanti dengan perasaaan yang tidak sabar, akhirnya hari dimana penulis akan mengambil KTP kecintaannya, datang juga. Yup, tepat hari ini. Sekitar 08.00 tepat penulis berangkat menuju tempat pengambilan benda itu. Jaraknya pun tidak jauh dari rumah, hanya sekitar 200 meter. Sesampainya disana, ternyata bukan saya saja yang menanti momentum pembuatan KTP. Sudah banyak sekali warga Ponorogo yang mengantri ingin membuat KTP seperti menyerahkan foto, akta dan lain sebagainya.nah kepentingan saya disana hanya sekedar mengambil KTP, tidak kurang tidak lebih sehingga tidak akan memakan waktu yang cukup lama. Namun sayang, petugas yang datang disana tidak sebanding dengan peminat pembuat KTP, jauh. Yang saya temui hanya 2 orang “resepsionis” yang membawa beberapa lembar kertas yang saya tidak tahu isinya apa dan memanggil manggil para warga yang mengantri tadi agar memasuki ruang dimana mereka harus mengantri lagi, Bedanya adalah dengan posisi duduk dan bersedia untuk memberikan berkas berkasnya. Seperti mengantri gelombang 1 dan gelombang 2 begitu. Dan kepentingan saya untuk mengambil KTP harus batal sejenak. Dikarenakan petugas yang berwenang dalam urusan pengambilan KTP (seperti kasus saya ini) belum datang. Padahal jam dikantor itu sudah menunjukkan pukul 08.10 dan jam kerja dimulai pukul 08.00. Padahal dibulan Puasa ini, para petugas itu dipersedikit waktu bekerjanya. Namun kelihatannya masih kurang puas mereka.
Karena jengkel dengan ketelatan mereka, saya pun segera meninggalkan tempat tadi dan berinisiatif membuang waktu dan menoba menguji ketepatan omongan pihak yang memberitahukan bahwa,”silakan mas-nya agar kesini lagi sebentar lagi. 10 menitlah kurang lebih”, omong petugas yang lain. Sumpah deh, kalo saya menjadi petugas yang memberikan alasan ‘tadi’, yang aslinya petugas yang menangani kasus saya ini padahal telat, SAYA SANGAT MALU DENGAN REKAN SAYA.
Dan akhirnya penulis pun segara angkat kaki dari tempat tadi dan mencari udara pagi nan segar dengan berkeliling kota
Pukul 08.36. Penulis pun kembali lagi ke TKP pengambilan KTP. Sekarang giliran saya-nya yang telat dan sedikit terburu buru memasuki ruang yang sama. Namun sungguh, petugas yang menangani kasus saya ini, MASIH BELUM JUGA DATANG. Entah apa sebabnya saya sangat tidak mengerti dan sangat tidak bisa saya terima. Mungkin beliaunya mengalami gejala mulas yang luar biasa parah. Dimana sudah 2 minggu tidak BAB, sehingga harus berada dikamar mandi selama 2 jam. Bahkan rekor saya saja kalah. Padahal, sudah tau tugasnya untuk melayani masyarakat, sudah tau terjadi penumpukan peminat pembuat KTP, kok masih bisa bisanya telat. Padahal kami sebagai siswa saja, sudah diwanti wanti agar tidak telat datang kesekolah. Bahkan berbagai hukuman telah menunggu jika kami ketahuan melanggar/ telat. Sungguh, saya sendiri malu sebagai konsumen. Apalagi rekan sekerjanya ya.. ckck..
Pesan moral yang saya dapat dari kejadian memilukan tersebut adalah sebagai berikut. Lha ini dia.
Mungkin memang benar gaji/upah dari pekerjaan itu kadang tidak sesuai dengan yang kita inginkan alias sedikit. Namun, tanggung jawab untuk mengabdi kepada masyarakat seharusnya bukan menjadi alasan mengapa kinerja mereka tidak maksimal. Apalagi dibulan Puasa seperti ini, “puasa” itu tidak bisa menjadi alasan untuk tidak bekerja maksimal. Setidak tidaknya kerja kita kurang lebih sama atau bahkan kalo mampu, ditingkatkanlah. Logikanya, jika berpuasa saja kita mampu berbuat “lebih” apalagi kalau tidak puasa bukan? Dan jika memang gaji itu kurang, dibulan inilah kita sebagai umat Muslim seharusnya lebih mendekatkan diri pada-Nya. Meminta jika memang ingin kaya, ingin banyak uang, tidak perlu munafik. Karena Allah itu Maha Berkendak, dan jika Dia sudah berkendak maka tidak ada suatu apapun yang dapat menghalangi-Nya. Bahkan saya pun sebagai pelajar sempat berpikir, seharusnya beliau tadi yang seharusnya mengurus kasus saya ini HARUS merasa bangga lho. Beliau dengan pekerjaannya bisa sekaligus beramal, dimana membantu dan melancarkan permasalahan saya.
“Kepantasan seseorang untuk mendapatkan rejeki lebih baik itu harus dimulai dengan peningkatan kualitas dalam bekerja itu sendiri”,( Mario Teguh).
Jadi waktunya mengubah mindset, dimana kita HARUS meningkatkan KUALITAS DIRI terhadap pekerjaan terlebih dahulu, daripada hanya MENUNTUT gaji besar saja namun tidak dibarengi dengan bukti kita akan menjadi lebih bermanfaat untuk masyarakat.
Untuk Orang yang SEHARUSNYA menangani kasus saya tadi, berbahagia dan bersyukurlah karena mampu menjadi pelayan masyarakat. Karena kami sebagai pelajar sungguh sangat ingin berjuang, mengabdi, dan melayani masyarakat. Karena kami sebagai pelajar merasa bahwa, menjadi pelayan masyarakat adalah anugrah dimana kami mampu memberikan “sesuatu” untuk Indonesia yang patut dibanggakan.

Setuju pak bos. Seharusnya ada peningkatan kualitas pelayanan masyarakat bukan hanya aspek kependudukan *pembuatan ktp, dll* tapi juga pelayanan masyarakat yang multidimensional.
mari mah, kita tngkatkan kualitas diri kita! **9